Sedihnya Sebagai Orang Tidak Merokok di Indonesia
Buat teman-teman yang follow Instagram saya, pasti sudah tau ya, kalau Desember sampai Januari lalu, saya pulang kampung ke Indonesia. Pulang kampung yang sangat istimewa karena sudah 4 tahun kami tidak menginjakan kaki di bumi pertiwi akibat pandemi. Makin "istimewa" karena... harga tiketnya alamakjan! Lebih dari 2 kali lipat harga sebelum pandemi. Terakhir saya bertemu mama saya adalah Mei 2019 saat beliau berkunjung ke Selandia Baru, dan bertemu papi mami mertua dan adik ipar terakhir di Januari 2020, tepat sebelum pandemi dimulai. Setelah itu, pertemuan hanya melalui video call dan chatroom semata. Jadi tentulah kami menanti-nanti hari itu tiba.
Lalu begitu sampai di Indonesia, bagaimana perasaan saya? Tentulah senang karena bisa bertemu keluarga dan melepas kangen. Tapi di antara kesenangan itu, saya merasa kurang fit selama liburan. Ketika sudah masuk minggu ke 3, mulailah saya kangen Auckland. Ini bukan karena saya tidak cinta Indonesia ya, cinta banget malah. Makanan memang enak-enak, shopping ya seru banyak pilihan, tapi rasanya saya nggak sanggup dengan udaranya. Makin lama, saya merasa nafas agak berat, dan belakangan, saya jadi berteman dengan Panadol karena sering pusing. Nggak setiap saat sih, tapi kan sebel ya kalau pingin beraktivitas, tapi kepala nyut-nyutan. Kalau soal panas dan lembab, musim panas di Selandia Baru juga panas dan lembab. Tapi rasanya faktor utama yang membuat udara berat itu adalah polusi asap kendaraan, dan juga asap rokok. Kali ini saya akan bahas pengalaman yang membuat sesak baik secara literal dan figuratif, yaitu asap rokok.
Pernyataan yang ingin saya buat adalah, saya merasa orang yang merokok di Indonesia terlalu banyak dapat hak istimewa dibandingan dengan yang bukan perokok. Padahal sudah jelas, kalau merokok itu bukan hanya menghancurkan diri sendiri, tapi juga menghancurkan orang di sekitarnya. Contohlah saya. Merokok pun tidak pernah, bahkan tinggal dengan orang yang merokok pun tidak pernah, tapi bisa kena penyakit paru-paru yang disebarkan oleh perokok aktif, sehingga saya harus merelakan paru-paru kanan saya untuk dibuang. Di Indonesia, semua dibiasakan pada kondisi "harus paham" perokok itu punya tempat istimewa. Di bawah ini contoh pengalaman saya, ada yang dahulu, dan ada juga yang terjadi pada liburan kemarin, yang membuat saya sedih, tapi bingung harus berbuat apa.
1. Di tahun 2012, waktu itu saya sedang hamil Abby, saya dan suami melakukan staycation di hotel berinisial N di Bogor yang terkenal rimbun dan hijau. Mestinya saya bisa banget relax di sana, tapi tidak kejadian. Saya sempat tulis juga di blog, tapi post tersebut sama sekali tidak ada foto, karena mood saya rusak ketika sarapan pagi, dan seluruh area sarapan boleh merokok, dengan alasan tempatnya terbuka. Karena tidak ada area non-smoking, saya paksakan juga makan di tengah asap rokok. Setelah sarapan, kepala saya pusing 7 keliling dan mual parah, akhirnya cuma tiduran di kamar sampai waktu checkout tiba. Lupakan relax di pinggir kolam, atau jalan-jalan menyusuri area hijau. Beneran staycation yang tidak terlupakan, bukan karena enak, tapi karena bikin kesal.
2. Di 2013 dan pernah saya ceritakan sedikit di blog. Saat mempersiapkan ulang tahun anak saya yang pertama, saya melakukan survey ke beberapa restoran di dalam hotel. Salah satu sales hotel tersebut ada yang semangat sekali mempromosikan, kalau grup saya akan diberikan lokasi yang spesial di dekat area outdoor, supaya tamu-tamu saya bisa merokok. Bagi si sales ini, bisa memberikan tempat merokok buat saya adalah hal yang plus. Padahal beliau tau loh, kalau ini adalah acara keluarga untuk ulang tahun anak usia 1 tahun. Langsung saja hotel tersebut saya coret dari list, padahal ini adalah hotel bintang lima yang lumayan premium di Jakarta (inisialnya FS, mungkin pada bisa tebak).
3. Kali ini mulai maju ke liburan yang kemarin di Indonesia ya. Waktu itu kami sekeluarga makan di sebuah restaurant yang lumayan terkenal di daerah Puri Indah. Restorannya bukan restoran murah loh ya. (Buat saya kalau nasi goreng kampung di atas IDR 100,000 itu bukan restoran murah, patokannya itu ). FYI, restoran tersebut tidak ada area outdoor, jadi semua di dalam dengan full AC. Ternyata, smoking roomnya (yang juga berAC) malah di dalam, dibatasi oleh pintu geser sensor yang kalau orang lewat, ya terbuka tutup sendiri. Lokasinya pun ada di sisi tengah restoran. Waktu itu, kami sekeluarga ada 8 orang, dan kami dapat meja tepat di sebelah smoking room tersebut. Mau pindah nggak bisa karena meja lain juga sudah dipesan dan jumlah rombongan kami cukup besar. Jadilah, tiap orang lewat, kami ikutan menghirup asap rokok. Sungguh tidak ideal, sementara kami harus menghadapi asap, yang merokok bisa relax di dalam tanpa memikirkan sekitarnya.
4. Waktu kami ke Solo, kami mencoba telepon untuk reservasi di sebuah restoran yang terkenal di sana. Tapi teleponnya tidak ada yang angkat, bahkan DM Instagramnya pun tidak ada yang balas. Kami ingin sekali reservasi di area non-smoking, tapi berhubung tidak ada yang bisa dihubungi, kami terpaksa walk-in saja. Waktu itu sudah hampir pukul 9 malam, dan kami lapar sekali. Ternyata satu restoran itu seluruh area bisa merokok, baik di lantai 1 maupun lantai 2, tidak ada area berAC, jadi dianggap semua boleh merokok. Waktu itu saya tanya, apakah ada area non-smoking. Jawabannya ada, tapi sekarang ditutup dan harus reservasi sebelumnya. Saya jelaskan kalau saya sudah coba telepon tapi tidak ada yang angkat, mereka tetap tidak mau mengerti. Saya coba tanya apakah bisa dibuka saja areanya untuk kami, ternyata tidak bisa. Karena sudah malam dan sudah sangat lapar, akhirnya kami makan juga di tengah kepulan asap rokok. Untung makanannya enak dan pelayannya baik sekali, jadi kami masih bisa senyum sedikit.
Yang sedih itu, kasir restoran tersebut rupanya sedang hamil besar, dan dia menulis di kertas besar-besar dengan spidol, kalau mohon mematikan rokok pada saat melakukan pemesanan dan pembayaran. Ketika ada bapak-bapak yang merokok saat mau memesan, sang kasir mencoba memberitahu si bapak untuk mematikan rokoknya. Si Bapak malah melotot dan suaranya meninggi, "Jadi nggak boleh merokok nih di sini?" Kasirnya sampai harus menjelaskan, kalau di kasir saja, nanti kalau di area makan boleh merokok. Baru deh bapaknya muka tegangnya hilang dan tampak lega. Sampai sebegitunya para perokok ini nggak mikirin orang lain, nggak peduli kasirnya yang hamil besar. Mestinya tanpa tulisan besar-besar pun orang-orang ini harus "tau diri" untuk tidak merokok di depan ibu hamil, tapi rasanya empati memang sudah mati buat sebagian perokok.
5. Cerita dari Solo lagi. Waktu itu kami menginap di Hotel Aston. Saya langsung sebutkan saja nama hotelnya karena saya salut dengan ketentuan tidak merokok yang mereka terapkan di daerah sarapan. Kalau soal pengalaman menginapnya sendiri memang ada kekurangan, tapi untuk non-smoking policynya, saya acungi jempol. Area sarapan mereka tidak terlalu besar, separuh indoor dan separuh outdoor tanpa pembatas alias semua pintu dibuka. Kebetulan area outdoornya di sebelah kolam renang, jadi banyak keluarga dengan anak-anak kecil. Seluruh area tersebut dilarang untuk merokok, walaupun di kepala orang Indonesia, area terbuka = area perokok. Karyawannya pun konsisten menerapkan policy ini dengan menegur orang yang merokok.
Tapi, ada hal yang bikin saya urut dada, bukan dari pihak hotelnya. Ada seorang keluarga dengan anak kecil yang sedang sarapan. Anaknya sedang sarapan santai-santai, tapi ayah dan ibunya terlihat gelisah. Tau apa yang buat gelisah? Karena si bapak sudah tidak tahan untuk merokok! Dan apa yang terjadi? Si Ibu malah menegur anaknya untuk cepat-cepat sarapan."Kamu makan buruan dong, bapak udah mau merokok tuh!" Kebayang nggak? Anak kecil, yang ingin tenang sarapan, malah diburu-buru oleh ibunya, yang ingin jadi "istri berbakti" untuk mengedepankan kebutuhan merokok suaminya dibandingkan dengan kebutuhan anaknya untuk santai dan menikmati liburan. Asli bikin lemes. Not for me to judge, cuma karena terlihat dan terdengar di depan mata, jadi gimanaaaa gitu.
6. Karena ingin relax seperti beberapa tahun lalu saat kami ke Solo Jogja, kami reservasi makan siang di restoran berinisial A yang berlokasi di atas bukit di dekat Prambanan. Kalau yang pernah baca blog saya di masa lampau, mungkin tau deh restonya yang mana. Waktu kami ke sana di 2015, kami senang sekali dengan suasana yang tenang, area outdoor yang sangat nyaman, pemandangan indah, dan mungkin karena medsos belum seperti sekarang, restonya bisa dibilang lumayan sepi. Jadilah saya promosikan restoran ini ke mertua juga untuk lokasi makan siang kami.
Kami reservasi untuk area non-smoking. Berbeda dengan 8 tahun lalu, kali ini restorannya lebih ramai. Kami ditempatkan di area indoor, tepat di sebelah pintu besar area outdoor. Itu tidak masalah seandainya saja area outdoornya tidak banyak orang merokok. Tapi kali ini ada arisan ibu-ibu, lengkap dengan dresscode, semua ibu-ibu ini merokok. Belum lagi tamu-tamu lainnya juga merokok. Padahal di luar itu pemandangan indah sekali, tapi kami yang tidak merokok, malah tidak bisa mendapatkan pemandangan indah tersebut. AC di bagian indoor tidak dinyalakan sepenuhnya yang membuat ruangan jadi semakin panas, ditambah lagi semburan angin dari luar yang bercampur dengan asap rokok, malah membuat suasana sangat tidak nyaman. Dipikir-pikir, enak sekali ya jadi perokok, di luar dapat pemandangan indah, dapat merokok sepuasnya, sementara kami di dalam kepanasan dan harus menghirup hembusan asap dari mereka. Sekali lagi, untuk ukuran Jogja, restoran ini termasuk premium loh, tapi ya begitu deh. Selamat tinggal suasana santai dan nyaman yang pernah kami alami sebelumnya.
7. Yang ini pengalaman dari sahabat saya yang berdomisili di Amerika. Dia liburan ke Indonesia di bulan Januari lalu. Dia dan keluarga menginap di hotel bintang lima lumayan baru di Bandung berinisial G. Sudah langsung bisa nebak lah ya hotel apa. Tau kan hotel tersebut terkenal dengan pemandangan lembah indah yang bisa dinikmati di daerah verandanya pada saat sarapan? Tapi apa yang terjadi, ternyata daerah veranda yang indah itu, malah dipakainya untuk para perokok. Mirip dengan pengalaman saya di atas, daerah non-smoking malah ditaruh di dalam, dan tidak berhak mendapatkan pemandangan indah. Bagi non perokok yang mau sarapan di verandah, harus mengalah dengan ikut menghirup asap. Teman saya sampai panggil manajer hotelnya dan komplen habis-habisan soal kebijakan ini. Banyak keluarga yang membawa anak-anak untuk menikmati pemandangan di verandah, tapi anak-anak tersebut terpaksa menghirup asap rokok. Lagi-lagi para perokok jadi "pemenangnya".
---------------------------------------------
Saya mengerti, industri rokok memang jadi roda penggerak perekonomian di Indonesia. Tapi analisa saya, rokok di Indonesia itu terlalu murah sehingga konsumennya luar biasa banyaknya dari berbagai kalangan. Banyak sekali anak-anak SD yang nonkrong di pinggir jalan sambil merokok karena harganya murah. Sedih melihat generasi muda Indonesia sudah mulai adiksi. Di Selandia Baru, harga 1 kotak kecil rokok itu berkisar $35-$40 dolar. Peraturan baru pemerintah pun makin ketat, Selandia Baru adalah negara pertama di dunia yang menerapkan pelarangan rokok bagi orang yang lahir mulai tanggal 1 Januari 2009. Toko yang boleh menjual rokok akan dikurangi bertahap sampai 10 persennya saja, dari 6000 toko seluruh negara, jadi tinggal 600 toko. Untuk 1 negara loh ya. Beritanya bisa dilihat di semua situs dunia kalau penasaran. Bedakan dengan peraturan baru Indonesia, yang cuma melarang penjualan rokok batangan. Apa yang terjadi ke anak-anak yang suka beli batangan? Tinggal patungan aja beli 1 kotak dan dibagi-bagi toh? Peraturan yang agak-agak aneh dan tidak efektif kalau menurut saya. Kabari ya kalau peraturannya nanti diganti lagi, soalnya saya suka kurang update.
Mungkin yang baca juga bingung, ngapain saya capek-capek nulis panjang lebar cuma ngurusin soal rokok. Toh saya nulis kayak apapun, sudah terlalu sulit untuk mengubah kebiasaan orang. Tapi saya percaya, langkah kecil untuk memunculkan awareness juga sudah "sesuatu" dibandingkan tidak berbuat apa-apa. Yuk para pengusaha hospitality yang menyediakan ruang terbuka, jangan pentingkan uang terus, coba pentingkan kesehatan rakyat. Beranikan diri untuk buat usaha yang memprioritaskan orang yang tidak merokok, bahkan kalau bisa 100 persen area dibuat tidak merokok. Langkah yang mungkin kesan awalnya merugikan, tapi sesungguhnya bisa menguntungkan di jangka panjang. Banyak loh keluarga yang rindu bersantai di ruang terbuka tanpa adanya gangguan asap rokok. Tidak tau kapan, suatu hari moga-moga bisa tercapai Indonesia bebas asap rokok. Lalu bagaimana dengan perekonomian yang berasal dari rokok? Saya percaya ada waktunya kita bisa beradaptasi demi dunia yang lebih sehat. Dan yang jelas, Indonesia tuh kaya bukan hanya dari rokok. Yuk bisa yuk!
Gila juga ya. gua kirain sekarang di indo udah getting better tentang rokok nya ternyata masih parah ya...
ReplyDeleteMungkin dengan menyediakan area rokok terpisah, sudah dianggap much improvements kali ya Man. Tapi anehnya yg ngerokok malah dpt area yang lebih baik. Ajaib toh?
DeleteSalam kenal mbk..saya juga suka sebel dengan orang yg ngerokok seenaknya,kadang di angkutan umum juga gitu .udah rambut jadi bau..asepnya jg bikin sesek..suka susah di kasih tahu .ga ada kesadaran juga..dah itu main buang puntung rokok seenaknya..padahal harga sebungkus rokok udah bisa buat belanja sayur dan lauk buat serumah..lah koq saya jadi curhat😀🙏
ReplyDeleteI feel you. Kalau ditegur, lebih galak mereka. Bener2 harus sabar dan tabah deh. Rokok ini memperkaya bosnya, memiskinkan rakyatnya. Gak papa curhat, lah itu saya juga curhat panjang lebar heheheh.
Delete