Jumpa lagi di cerita lanjutan Abby dan Tilly Tamasya di North Island. Buat yang belum lihat kegiatan kami sebelumnya, silakan klik postingan
hari pertama, dan
hari kedua. Post hari ini bakal jadi post yang terpanjang dalam perjalanan lima hari kita. Kenapa? Karena hari ini, kita benar-benar total menelusuri kota Wellington, tanpa pakai mobil, alias jalan kaki semuanya, dari pagi sampai malam. Mobil pun menginap total di tempat parkir, jadi isinya benar-benar full perjalanan. Yuk simak petualangan kami hari ini di Wellington.
Selasa, 29 September 2020
Itinerary kita hari itu kira-kira sebagai berikut:Wellington Botanic Garden, Bolton Street Cemetery, Parliament Building, makan siang cepat, Te Papa Museum, dan makan malam. Pokoknya, hari itu kaki kami dibuat lumayan nyut-nyutan, tapi hati bahagia. Dan yang paling bikin bahagia sih, anak-anak nggak ada yang rewel. Penting banget ini!
Yang namanya Wellington, cuaca tidak pernah bisa ditebak. Menurut prakiraan cuaca, hari ini akan hujan lebat. Tapi teman yang tinggal di Wellington bilang, daripada lihat prakiraan cuaca, mendingan lihat jendela hahaha. Ternyata benar loh, seharian kami diberkati dengan cuaca yang sangat cerah! Puji Tuhan.
 |
Kalau lagi bobok begini, aduh mesranya! |
 |
Salah satu hal yang menyenangkan kalau tinggal di Rydges Hotel adalah sarapannya. Macamnya nggak terlalu banyak, tapi menunya selalu fresh. Juicenya saja bukan cordial, tapi fresh juice yang dibotolin satu-satu dari dapur. |
 |
Ini piring bapaknya. Kata beliau, sausagenya enak banget. Kalau saya nggak makan sausagenya lantaran itu terbuat dari daging domba. |
 |
Setelah breakfast, balik kamar sebentar, siap-siap dengan gear untuk seharian keluar rumah. Si Tilly gayanya kayak bos banget ya, padahal palingan lagi main model Baby Bus. |
 |
Suasana downtown Wellington. Walaupun sudah di tengah musim semi, tapi masih dingin seperti musim dingin, dan anginnya suka nggak santai. Jadilah kami semua tetap pakai puffer jackets. |
 |
Jalanan tengah kota Wellington kecil-kecil seperti ini, jangan dibandingkan dengan Sudirman. Tapi pedestrian alias trotoarnya besar-besar, sehingga semua orang bisa jalan kaki dengan nyaman. |
 |
Tujuan pertama hari ini adalah ke Wellington Botanic Garden dengan menaiki Wellington Cable Car. Abby sudah kali ketiga naik cable car ini, tapi buat Tilly ini jadi yang pertama. Kita antri dulu beli tiketnya. Kami beli tiket one-way, karena nanti kami akan kembali ke tengah kota dengan berjalan kaki. |
 |
Duduk manis dulu di dalam cable car. Karena kami menghadap ke bawah, jadi pas keretanya jalan, kami geraknya mundur. |
 |
Bapaknya anak-anak sempet-sempetin foto dulu dari luar sebelum cable car-nya bergerak. |
 |
Di dalam terowongan penuh dengan lampu-lampu hias. |
 |
Wowww, anak-anak terkesima semua. |
 |
Kali ini, lampu hiasnya berwarna pelangi! |
 |
Keluar dari terowongan, disambut matahari yang cerah. |
 |
Suasana di dalam cable car yang sangat bersih. Di sebelah kanan itu ada kode QR code untuk Covid-19 tracker. Jadi seluruh penduduk Selandia Baru, dihimbau untuk selalu sign in setiap ke tempat-tempat umum, dengan menggunakan aplikasi tracker ini. Seandainya sampai ada yang terkena infeksi, semua orang yang sempat ada di tempat yang sama, bisa langsung ditelusuri keberadaannya. Sampai saat ini, keberadaan aplikasi ini sangat membantu untuk mengetahui pergerakan masyarakat. |
 |
Sampailah kita di puncak bukit. |
 |
Mampir sebentar ke Cable Car museum yang berlokasi tepat di sebelah stasiun. Dulu cable carnya hanya sebesar itu dan terbuat dari kayu. |
 |
Orangnya palsu kok itu, cuma patung lilin. Dan inilah kira-kira cara kerja mesin penariknya di masa lalu. |
 |
Saya suka banget foto ini, dengan latar belakang pemandangan kota Wellington yang cerah. |
 |
Dari dalam stasiun, kami sempat memfoto cable car yang sedang bergerak turun. Langit biru, dataran hijau, menyatu dengan gedung-gedung. |
 |
Sebelum jalan kaki ke Botanic Garden, kami berusaha foto wefie dulu. Tapi karena silau, anak yang kecil mukanya bete duluan. |
 |
Eh tau-tau ada pengunjung lain yang berbaik hati untuk fotoin kami berempat. Jadi dapat deh foto berempat yang senyum semua. |
 |
Suami nunjuk-nunjuk salah satu gedung, "Eh itu gedung kantorku kalau lagi business trip." Gimana nggak berangin ya, kotanya benar-benar dikelilingi perbukitan. Amerika punya Chicago as the Windy City, Selandia Baru punya Wellington as the Windy Welly. |
 |
Pose dulu. Bagus nih dapat cable carnya, dapat pemandangannya. |
 |
Belok ke kiri dari stasiun cable car, kita langsung menuju Botanic Garden. |
 |
Seneng banget kalau lagi akur gini. Jalan kaki pun senang sekali. Kenapa senang? Karena dari jauh, mereka langsung matanya melihat yang di bawah ini! |
 |
Playground yang besar sekali di tengah kebun raya! Langsung deh anak-anak berbinar-binar untuk main. |
 |
Kalau yang kecil explore permainan anak seusianya. |
 |
Kalau yang besar, nggak mau main yang lain kecuali ayunan! Pokoknya dia lagi terobsesi sama ayunan. |
 |
Seluruh permukaan tanahnya dilapisi soft surface, aman banget lah untuk anak-anak. |
 |
Tin..tin... naik firetruck jadi-jadian. |
 |
Bapaknya juga ikutan. Masa kecil kurang bahagia. |
 |
Ngintip dulu ahhh! |
 |
Akhirnya, yang gede ini bosan juga main ayunan dan beralih ke prosotan, tapi maunya prosotan anak kecil, ngga mau naik yang panjang. |
 |
Setelah puas bermain, kita lanjut eksplorasi kebun rayanya. Di sebelah kanan ini adalah gedung baru yaitu learning pavilion. Kalau ada anak sekolah ngumpul, meeting pointnya di sana. Tapi hari itu tentunya nggak ada anak sekolah karena lagi liburan term. |
 |
Pas didekatin, ternyata anak ini fotonya gaya-gaya sok memandang langit macam selebgram lagi foto OOTD. Belajar dari mana sih? |
 |
Pakai jaket kuning, foto di depan bunga kuning. Padahal ini bebungaan liar yang tumbuh di samping jalan. Tapi kok bagus ya. |
 |
Ini adalah balkon dari rumah pohon. Bentuk rumahnya seperti apa, nanti saya kasih lihat fotonya. Pemandangannya ciamik banget ya. Kebayang sambil ngeteh dan makan kue sore-sore. |
 |
Terlihat rumah-rumah di Wellington itu, pada nyempil-nyempil di bukit. |
 |
Ngaso dulu di persimpangan jalan. |
 |
Setiap lihat rumah di belakang itu, langsung terbayang rumah-rumah di dongeng Hansel and Gretel, atau Little Red Riding Hood yang menyusuri hutan. Ini si Abby kenapa gayanya kayak Cherrybelle ya? |
 |
Nah ini dia rumah pohonnya. Yang tadi saya foto itu dari balkon di kanan atas. |
 |
Tiba-tiba, di main entrance Botanic Garden, kami disambut dengan ribuan bunga tulip yang indah sekali! |
 |
Kuning mempesona! Bagus banget! |
 |
Yang ini ada yang oranye. Ditambah dengan bunga-bunga warna lain, jadinya menarik sekali. |
 |
Tilly malah keseruan main air di fountainnya. |
 |
Sungguh indah, main air, dengan latar belakang bunga tulip. |
 |
Gaya dulu ah untuk kenangan. Di belakang yang nampak mesin pemotong rumput, ternyata adalah patung. Jadi permanen posisinya. Kirain ada yang iseng motong rumput belum selesai, mesinnya ditinggal. Hihihi. |
 |
Pasangan berbahagia, difotoin oleh Abby. |
 |
Ketemu pengunjung lain, langsung deh minta foto berempat. |
 |
Couple wefie dulu! |
 |
Gimana nggak bagus ya kebun raya ini. Petugasnya terus merapikan tanaman. Padahal masuk ke kebun ini gratis loh. Jadi paham kan kalau negara nggak korupsi, uang pajaknya dipakai salah satunya untuk pemeliharaan fasilitas seperti ini. Jadi rela toh bayar pajak besar? |
 |
Lanjut jalan lagi ke Rose Garden. Sayangnya karena bukan musimnya, tidak ada mawarnya sama sekali, cuma daun-daun hijau saja. Kebayang kalau lagi musim dingin, mawarnya pasti mekar semua. |
 |
Foto manis di depan air terjun. |
 |
Cantik sekali ya, dibuat nuansanya seperti di Jepang. |
 |
Jalan kaki lagi, kita akan kembali menuju ke downtown Wellington dengan melewati Bolton Street Cemetery. Iya, ini kuburan! |
 |
Pintu gerbang kuburan ditutup untuk mobil. Tapi orang-orang bisa masuk langsung dari kiri kanan. |
 |
Kuburan tapi cantik begini loh. Kalau malam sih, tetap aja serem! |
 |
Nisannya ada yang lama dan baru, tergantung keluarga masing-masing. |
 |
Kuburannya bersusun dan padat, lokasinya benar-benar di tengah kota. |
 |
Menyusuri jalan sambil foto-foto pemandangan. |
 |
Nyebrang dulu lewat jembatan penyebrangan yang cukup panjang. Di bawahnya adalah motorway. |
 |
Nengok ke bawah, isinya ya mobil seliweran. |
 |
Ada yang sudah kecapekan, akhirnya naik stroller. |
 |
Inilah The Beehive alias gedung parlemen Selandia Baru. Sudah tau kan ya kenapa disebut The Beehive? Karena bentuknya benar-benar mirip sarang lebah. Uniknya, nama Beehive ini bukan sekedar lelucon, melainkan nama resmi yang dipakai di pemerintah. Jadilah nama gedung parlemen Selandia Baru itu: Sarang Lebah. Bahkan website resmi pemerintah adalah: www.beehive.govt.nz. |
 |
Suasana di depan gedung parlemen, serba terbuka, tiada jarak. Namanya juga rumah rakyat ya, rakyat ya bebas jalan-jalan di depannya. |
 |
Ini contoh rakyatnya hehehe. |
 |
Minta tolong orang fotoin kita, kok yang foto dodol sekali. Gedungnya terpotong, dan di bagian bawah malah banyak space kosong alias cuma trotoar. Hukssss. |
 |
Ya udah deh kita wefie aja. |
 |
Dan ini hasil foto Abby loh. Jauh lebih bagus daripada orang dewasa yang tadi kami minta tolong. |
 |
Waktu itu kami iseng-iseng meledek, wah, sudah mau jam 1 siang nih, sebentar lagi ada Dr. Ashley Bloomfield konferensi pers untuk update Covid-19 dari gedung parlemen. Iya, kami hampir setiap hari mendengar update dari Dr. Bloomfield di TV karena saat itu masih ada kasus di komunitas. Saking terkenalnya, orang-orang banyak yang ngefans sama Dr. Bloomfield, sampai merchandisenya pun dijual. Mulai dari kaos, sampai ke tea towel alias serbet dapur. |
 |
Yang namanya gedung parlemen, ya ada aja gitu yang demo. Tapi ini yang demo cuma 2 orang, bawa 3 poster. Demo soal climate change hehe. Sepi dan damai banget demo kayak gini. Kayak lagi nungguin angkot lewat aja. |
 |
Nah, ini juga menarik. Di halaman gedung parlemen, ada playground untuk rakyat hehe. Duh, negara ini memang unik dan menarik! |
 |
Ngaso dulu sambil mikirin mau makan siang di mana. |
 |
Tapi namanya anak-anak, tentuk nggak tahan kalau nggak main prosotan. Bagus banget ya prosotan ini. Kalau kata orang jaman sekarang, estetik sekali! Tuh, bener kan belakangnya langsung gedung parlemen. Kebayang nggak di Gedung MPR Senayan situ, depannya ada taman bermain? Hihihi. |
 |
Senangnya lihat anak-anak lari-larian bebas seperti ini. Pas saya anak-anak dulu, kayaknya bisa begini kalau ke Cibodas. |
 |
Siang itu, kami nggak mikir nyari makan yang fancy-fancy. Cukup yang cepat saja dan anak-anak pasti bisa makan. Jadilah mampir ke salah satu sushi shop, Sakura Sushi, yang biasanya penuh dengan orang-orang kantoran. Pesanannya standar saja, ebi furai, berbagai roll dan nigiri, plus nasi dengan ayam katsu. Makan cepat, artinya habis ini bisa lanjut jalan lagi. |
 |
Kami lanjut jalan melewati Wellington City Gallery. Dulunya gedung ini adalah Central Library-nya Wellington, tapi sekarang alih fungsi menjadi galeri seni. Kelihatan ada yang unik nggak di atap? |
 |
Pas dizoom, ealah, kok ada tangan, dengan 4 jari, dan wajah! Inilah yang bikin saya sampai sekarang nggak bisa jadi kurator seni. Saya bingung, seni apa ini? Saking membingungkannya, sampai situs berita di sini bilang kalau itu adalah patung mimpi buruk yang menakutkan. Boleh baca beritanya di link ini. |
 |
Abby malah minta difoto niru gaya si tangan tersebut. |
 |
Dan tibalah kita ke tujuan utama sore itu yaitu Te Papa Museum. Te Papa Museum adalah museum nasional terbesar di Selandia Baru. Masuk ke situ gratis, tapi displaynya sungguh membuat saya terkagum-kagum! Lagi-lagi merasa, gila ya bayar pajak buat ini, nggak rugi! |
 |
Ayo, mau mulai dari lantai mana dulu? |
 |
Ada berbagai eksibisi khusus yang hanya ada di periode tertentu, tapi ada juga eksibisi permanen. Pokoknya museum ini isinya 6 lantai penuh sejarah, karya seni, dan yang jelas, bikin kaki saya mau patah. Puasss! Yang senengnya lagi, hampir 80% dari display di museum ini, boleh difoto, jadi saya bisa membagikan pengalaman ini dengan teman-teman. Ya nggak mungkin saya foto semua, sedikit-sedikit saja yang penting terbayang. |
 |
Baru tiba di lantai 2, langsung disambut patung Maori yang besar sekali. Jendela besar-besar, pencahayaannya bagus. |
 |
Dan inilah eksibisi pertama yang kita hadiri. Tentang perang terbesar dimana banyak orang Selandia Baru ikut serta di dalamnya yaitu Perang Galipoli. Informasi lengkapnya silakan baca di sini. Yang menarik dari eksibisi ini, adalah patung-patung raksasa yang dibuat dengan sangat-sangat detail, sampai begitu kami masuk dan lihat eksibisinya, hati ini langsung bergetar loh. Audio, visual, semua bercampur menjadi satu kesatuan yang membawa kita terhanyut ke masa lampau. |
 |
Patung ini besar banget, mungkin sekitar 8 kali besar manusia normal, tapi segala detailnya luar biasa, sampai guratan wajah, pori-pori kulit, jahitan baju, dan berbagai detail lainnya. Pantas saja keren sekali, karena yang membuat adalah Weta Studio yang juga memproduksi berbagai visual di film-film Hollywood. Salah satu yang terkenalnya adalah Lord Of The Rings. |
 |
Detail darah, kuku yang menghitam, semua nampak nyata. |
 |
Perlengkapan pribadi para prajurit di saat perang. Semua diperlihatkan secara nyata. |
 |
Display baju prajurit saat itu. Betapa kompleks dan beratnya. |
 |
Nah, di sini terlihat tuh, orang normal di belakang yang lewat besarnya seberapa, dan display ini besarnya seberapa. Ini adalah penggambaran salah satu dokter militer yang bertugas saat itu, saat harus menghadapi prajurit yang terluka. |
 |
Ekspresi wajahnya menggambarkan kedukaan dan ketegaran yang tak mampu diulas dengan kata-kata. |
 |
Miniatur dari tempat tinggal para prajurit saat itu, begitu terekspose oleh lawan, sehingga sangat mudah diserang. |
 |
Kisah prajurit yang kelaparan dan hanya punya ransum seadanya. |
 |
Detail makanan kaleng yang dikerubungi oleh lalat. Jari-jari yang kering dan terkelupas. |
 |
Menyentuh sekali ya. Demi bisa berkomunikasi, mencari kardus saja susah, untuk menulis sepucuk surat untuk ibunda. Kalau lagi begini, suka sedih, kenapa sih dunia harus ada perang.
|
 |
Saking kerasnya biskuit ransum, gigi para prajurit sampai pada patah. |
 |
Ransum standar saat itu. Selai, biskuit, bacon, daging kalengan. |
 |
Penggambaran suasana perang yang mencekam. Kawan sudah gugur, yang masih hidup terus menyerang dan bertahan. |
 |
Senjatanya begitu detail, urat-urat di tangan prajurit juga terlihat jelas. |
 |
Salah satu perawat yang menerima kabar kalau saudaranya sudah tiada. Setiap orang ditugaskan di stasiun berbeda, walaupun sekeluarga, belum tentu bisa bertemu. |
 |
Garis rambut, peluh, dan air mata yang sangat realistis. |
 |
Sang prajurit, di tengah bunga poppy. Mengapa bunga poppy ini digunakan untuk simbol veteran perang? Hal tersebut dikarenakan bunga poppy ini tumbuh subur di area pertempuran setelah berakhirnya Perang Dunia I. Sampai sekarang di Selandia Baru, Anzac Day (hari memperingati Perang Galipoli) selalu dilambangkan dengan pemakaian bunga poppy di berbagai tempat. |
 |
Selesai sudah display perang yang sedih-sedih, sekarang kita lanjut ke display soal alam. Ini pun displaynya dibuat nggak sembarangan. |
 |
Abby bergaya dulu jadi anglerfish. Itu loh, ikan yang ada antena lampunya hehe. Kayak alien yah. |
 |
Walaupun membahas soal biota laut dan pantai, suasananya dibuat sangat menarik dengan perpaduan display dari binatang yang dibekukan air keras, plus audio visual yang sesuai tema. |
 |
Bagus sekali dan nggak nyeremin. Beda suasana dengan Museum Geologi di Kebun Raya Bogor yang nuansanya lebih gelap-gelap. |
 |
Anak-anak juga bisa memencet layar interaktif untuk mempelajari masing-masing spesies. |
 |
Yang ini ceritanya adalah sarang burung raksasa. Jadi segala displaynya, bukan cuma sekedar memberi informasi, tapi juga ada nilai artistiknya. |
 |
Area permainan anak yang penuh konten edukasi. Yang ini anak-anak diajarkan bagaimana proses perputaran air. Tapi jadinya interaktif dan nggak membosankan. |
 |
Burung-burung dan biota laut, lagi-lagi ada layar sentuh supaya kita bisa belajar. |
 |
Layar besar di belakang, membuat kita seakan-anak berada di area outdoor. |
 |
Satu ruangan penuh dengan display dari proyektor, khusus untuk mempelajari perubahan iklim. Keren banget kan? |
 |
Buat yang penasaran burung-burung asli Selandia Baru, yang kiri itu adalah Kiwi, dan yang kanan tengah yang paruhnya oranye adalah Pukeko. |
 |
Odd bunch alias binatang-binatang unik dari masa lampau yang sayangnya sekarang sudah punah. |
 |
Kafe di dalam museum yang sangat besar dan nyaman. Kalau kayak gini, arisan di museum juga seru toh? |
 |
Ini eksibisi besar yang bagi saya mbingungin. Mungkin karena saya nggak bakat seni. Intinya 1 ruangan besar kayak atrium 2 lantai, ada projectornya dari berbagai arah, lalu ada musiknya jedam jedum, dan gambar bergerak-gerak, tapi nggak jelas apa. Pokoknya hitam putih. Kalau mau menikmati ya kita duduk dulu di situ. Setelah kami duduk beberapa menit, masih tetap bingung, ya sudahlah hahahaha. Contemporary art memang bikin garuk-garuk kepala. |
 |
Nah, kalau yang ini baru menarik menurut saya. Pameran furniture yang dianggap modern pada masanya. Perubahan dari furniture bentuk tradisional, menjadi unik agak-agak streamline. |
 |
Menarik banget bentuk kursi dan lampu standingnya. Mengingatkan kita pada era 70-an. |
 |
Sepeda roda 3, kursi pantai, sampai coffee brewer. |
 |
Sampai sekarang kursi yang model depan ini masih dipakai di resto dan cafe yang cukup berkelas. Sebenarnya displaynya masih banyak lagi, tapi ya nggak mungkin difoto semua. |
 |
Eksibisi selanjutnya adalah eksibisi soal tatoo. Bagi orang Samoa, tatoo ini bukan cuma sekedar aksesoris, tapi sudah merupakan bagian dari budaya. Yang jelas saya dibuat terkesima dengan grafiknya yang luar biasa. Pssstt banyak juga display yang 100 persen nggak pakai baju, hanya pakai tatoo, tapi dikemas sangat artistik. Pokoknya wow deh! |
 |
Kisah perjamuan terakhir Yesus, menurut versi Samoa. |
 |
Foto asli yang diambil dari tahun 80-an, di rumah masing-masing. |
 |
Proses pemberian tatoo yang dilakukan beramai-ramai dalam sebuah upacara. Sungguh sakral dan membuat saya tak bisa berkata-kata. Konon, bisa berhari-hari mereka tiduran untuk merajah satu badan. |
 |
Anak-anak bisa menggambar denah rumah atau furniture sesuai fantasi mereka, lalu bisa ditempel di dinding. Asik banget nih berdua coret-coret. |
 |
Eksibisi selanjutnya mengenai perjalanan para imigran yang membentuk Selandia Baru sampai seperti sekarang. |
 |
Kumpulan kisah dari para refugee dari berbagai negara, yang pada akhirnya menjadikan Selandia Baru sebagai pelabuhan terakhir. Banyak korban perang loh. |
 |
Keren sekali ya displaynya. Serasa ikut masuk ke dalam perjuangan orang-orang sampai bisa pindah ke negara ini. |
 |
Nah, kalau eksibisi yang ini, saya hanya bisa foto bagian depannya. Di bagian dalam sama sekali dilarang foto, dikarenakan banyak barang-barang berharga dari suku Maori. Intinya sih, kisah mengenai the indigenous people alias orang asli Selandia Baru dan budaya mereka. |
 |
Area kreatifitas anak-anak yang menarik dan berwarna warni. |
 |
Panggung kesenian, tempat para tamu-tamu negara dihibur saat mengunjungi Wellington. |
 |
Di balik tiang-tiang display ini adalah naskah Waitangi Treaty, yang dibuat dalam 2 bahasa, bahasa Inggris, dan Bahasa Maori (Te Reo). Waitangi Treaty adalah tonggak sejarah perjanjian antara bangsa Inggris dan bangsa Maori (penduduk asli). Bisa dibilang inilah awal berdirinya pemerintahan di Selandia Baru. |
 |
Naik ke lantai 6, kami menuju ke area rooftop dari museum. Ternyata, wowww! Pemandangannya indah sekali. |
 |
Museum ini memang berlokasi di pinggir laut, yang memberikan pemandangan ekstra indah. |
 |
Dari balik kaca, kami juga bisa melihat aktivitas pelabuhan di sore hari. |
 |
Kebayang ya kalau mengadakan acara di rooftop ini, pasti keren sekali! |
 |
Setelah itu, kami memasuki area pameran contemporary art. Pas masuk awal-awal, kami masih lumayan paham sih, oh ini isinya adalah foto tokoh-tokoh sejarah. Sekali lagi, ada layar sentuh jadi kita bisa ikutan belajar. |
 |
Makin ke dalam, artworknya makin bikin kepala geleng-geleng sedikit. Contohlah lukisan di depan itu. Ada tulisan "Boy Am I Scarred EH" dengan bulatan merah. Sungguhlah saya kurang ahli. |
 |
Lalu ada 1 ruangan dengan proyeksi lampu warna pelangi. Ini juga art display loh. Tapi yang di strollernya lagi molor. |
 |
Kalau yang besar sih seneng banget ada ruangan luas, dia bisa lari-lari sendiri. |
 |
Hmmm... karya seni apa ini? |
 |
Sungguh, saya bingung! Kalau menurut keterangannya, si pelukis meminta kita berpikir, apakah sebuah lukisan itu, dan apakah yang terkandung di dalam dan di luar sebuah karya seni. Waduh, kalau tiap lihat karya seni saya harus banyak mikir, keluar museum saya bisa botak ini! |
 |
Bagus banget ya! Ini tuh benang-benang wool yang digulung sedemikian rupa sampai keluar motif. Kalau dari jauh sih cuma kayak silinder. Pas dideketin, wow, benang semua! |
 |
Contoh yang unik lagi. Plat warna warni disusun jadi warna pelangi. |
 |
Dan ini, isinya cuma layar beberapa, ganti2an mecahin balon hahaha. Bener-bener deh art oh art! |
 |
Ini juga, kayak display warna warni, muter muter sendiri. |
 |
Perasaan jaman dulu TV model ini keren sekali. Di rumah saya, ini TV flat screen pertama tahun 90an. Dibeli gara-gara Emak (nenek) saya hobi banget nonton Telenovela Esmeralda, dan dia minta TV baru hahaha. |
 |
Ada yang udah lemes nih, selonjoran dulu deh, sambil ngelihatin karya seni yang gak jelas. |
 |
Iseng-iseng masukin kepala ke tabung, pas difoto jadinya kayak gini. |
 |
Lalu emaknya nggak mau kalah, ikutan juga. |
 |
Mangap dulu ah! |
 |
Bapaknya posenya normal nih. Ngga kayak emaknya. |
 |
Si Abby juga manis banget. Sayang Tilly bobo, jadinya nggak sempat foto di sini. |
 |
Share the love! |
 |
Boleh nulis apapun dan gambar apapun. Pas mau gambar, spidolnya mampet. Huks. |
 |
Ada eksibisi terakhir yang kita lihat yaitu soal European Settlement di Selandia Baru, dan bagaimana mereka mulai membuka lahan, bertani, membentuk industri, dan lainnya. Tapi yang paling menarik buat saya adalah gambar perbandingan ini, bagaimana Selandia Baru yang tadinya hijau total, pelan-pelan mulai berubah menjadi perkotaan, dan hijau-hijaunya mulai menipis. Inipun menurut saya adalah penggambaran yang cukup ekstrim karena Selandia Baru sampai sekarang masih sangat hijau. Kebayang nggak kalau pulau Jawa yang dibuat display seperti ini, mungkin sudah merah membara kali, bukan abu-abu lagi.
|
 |
Sesudah puas menjelajahi museum, kita bersiap pulang, eh anak kecil ini bangun dong! Lalu pada main air deh di lobby. |
 |
Berjalan di pinggir pelabuhan sore hari, bareng-bareng dengan orang-orang yang pulang kantor. |
 |
Kapal tua, entah masih berfungsi atau nggak. |
 |
Seperti biasa, di mana ada pagar di sebelah air, orang-orang mulai iseng taruh gembok, dan akhirnya jadi ada ribuan gembok yang terpasang. |
 |
Langit biru, laut biru, indahnya dunia. |
 |
Wefie dulu ah, yang kecil udah seger, udah puas bobo di museum. |
 |
Photoception, bapaknya motoin orang yang lagi moto. |
 |
Liat muka gini, manis bener. |
 |
Senyum sampai gigi kering! |
 |
Ya ampun, dia ngaso di bola. |
 |
Mayan juga jalan ke hotel ngga nyampe-nyampe, jadi stop-stop buat pose. |
 |
Begitu sampai hotel, nukerin voucher buat welcome drink yang belum dipakai. Ternyata dapatnya cuma satu, boleh beer atau soda. Namanya bawa anak, ya soda deh hihihi. Suegeeer minum Coca Cola berduaan. Setelah itu kami istirahat sebentar di kamar, untuk meluruskan kaki yang sudah mau copot. |
Oh iya, saat perjalanan menuju hotel tadi, saya sempat mampir ke salah satu restoran di pelabuhan untuk membuat reservasi. Entah kenapa saya punya feeling kalau tempat tersebut bakalan ramai untuk makan malam. Saat kami kembali di malam hari, tempatnya sudah terisi penuh, tak ada sisa meja satupun. Untung deh sudah buat reservasi duluan. Seandainya cuek, pasti tidak kebagian atau harus menunggu lama.
 |
Suasana restoran di senja hari. |
 |
Berhubung sudah malam, sudah nggak ada orang yang nongkrong duduk minum bir di luar. Pas sebelumnya di sore hari saat saya membuat reservasi, seluruh kursi depan itu penuh terisi! |
 |
Nah, penuh kan restorannya. Setelah ini, semua kursi langsung terisi. |
 |
Anak-anak langsung sibuk sendiri dengan kertas mewarnai, sementara ortunya mulai pilih-pilih menu. Rasanya cuma kami yang bawa anak di malam itu. |
 |
Gemes amat sih (yang kanan, yang lagi megang krayon). |
 |
Foto berempat satu-satunya sebelum makan malam, burem pula hehe. pemandangannya langsung ke waterfront. |
 |
Gelas winenya kosong, nggak ada yang minum wine. Malah tiap kali ke resto kayak gini, suka deg-degan anak mecahin gelas yang tipis-tipis. |
 |
Menu anak-anak, kami pesan 2 porsi Fish and Chips. Kentangnya gendut-gendut banget. |
 |
Entree-nya suami: Seared Scallop and Fried Calamari with togarashi mayo, lychee, citrus oil, and micro shisho. Hap hap hap, sebentar langsung ludes hahaha. Piringnya aja yang gede.
|
 |
Entree kesukaan saya: Seafood Chowder with Fino Sherry, sweetcorn, potato, crayfish oil, and sourdough toast. Namanya makanan favorit, pasti endeus. Seafoodnya besar-besar. |
 |
Makan aja nggak bisa diem. Berlutut sambil disogok pakai youtube kids. Daripada berisik dan rewel. |
 |
Main course saya: Sous Vide Angus Fillet and Braised Beef Cheek, with smoky eggplant puree, pesto, gnocchi and mirco vegetables. |
 |
Main Course suami: Twiced Cook Pork Belly with Soft Shelled Crab. Pureenya saya nggak hafal karena rupanya menu musim panasnya sudah berubah, jadi nggak bisa nyontek deh hehe. Beginilah kalau emak-emak ini terlalu lama nyimpen ceritanya. Mestinya habis jalan-jalan langsung upload ya hehe. (Hmm...jadi kepikiran masih banyak banget cerita yang belum ditulis).
|
 |
Mau pesan dessert, tapi perut sudah nggak kuat lagi. Yang lucu, meja sebelah rupanya merayakan ulang tahun. Begitu pestanya selesai, balonnya nggak dibawa pulang sama yang ulang tahun. Eh malah ditawarin ke kami. Yang ditawarin ada 2 balon, tapi kami ambil satu saja. Saya ledekin mama saya di Jakarta via WA, "Ma, mama yang ulang tahun kemarin, tapi kami yang rayakan di sini pakai balon Happy Birthday." |
 |
Kenapa si Tilly mukanya kayak anak Jepang di sini? Pipi merah pula. |
 |
Seumur hidup, baru di resto ini saja saya lihat disediakan catokan. Kalau disediakan hair dryer ya pernah lihat, disediakan orang yang megangin lap sampai nyemprotin parfum atau kasih lotion ke pengunjung ya pernah mengalami juga. Tapi lihat catokan di wece restaurant, ya baru ini! |
 |
Makin malam, suasana makin temaram dan romantis. Tapi kami nggak bisa nongkrong lama-lama. Mau tidur jam berapa anak anak ini? Hahaha. |
 |
Keluar dari restoran, disambut pemandangan kota malam hari yang cantik. |
 |
Restorannya juga jadi terlihat makin romantis. |
 |
Jalan kaki di samping wharf, menuju ke hotel. |
 |
Sudah terlihat kan ya, ada gedung tinggi dengan tulisan merah, itulah hotel kami.
|
 |
Siap-siap menyebrang di lampu merah, masih bawa balon gas dari restoran. |
 |
Malam hari, sudah pakai piyama, ditemani oleh balon gas. Percaya atau tidak, akhirnya balon gas itu beneran kami bawa pulang sampai ke Auckland, dan setelah beberapa minggu, kempes total juga.
|
Gimana? Panjang banget ya ceritanya. Semoga puas mengikuti perjalanan hari ke tiga ini. Membayangkan kejadian hari itu, mikir, kuat juga ya kami jalan kaki dari pagi sampai malam di cuaca yang cukup dingin. Salut banget juga anak-anak nggak ada yang rewel, sudah belajar jadi traveler seperti ortunya. Jadi besok kita lanjut ke mana nih? Ditunggu ya kisah selanjutnya.
garden nya cakep banget... seneng kalo lagi liburan pas cuacanya bagus ya. kalo ujan lain cerita ya. hahaha.
ReplyDeletebtw kenapa lu gak mau makan sosis daging domba? keliatannya enak emang... :D
Soal hujan, nanti ada trip gue yg kayak gini... One day akan gue post. Sedih lah pokoknya hahahaha.
DeleteGue ga bs makan goat or lamb, Man. Biarpun dibilang ud ga bau, gue tetep bs merasakan bau prengusnya. Entah kenapa.
Wah bisa meleset jauh gitu ya perkiraan cuacanya.. senengnya dapat cuaca cerah, bisa enjoy jalan seharian, foto2 juga jadi bagus terang banget.
ReplyDeleteDulu waktu memutuskan pindah NZ..sempat kepikir Wellington juga atau sudah yakin mau pilih Auckland, Le?
Udah yakin Auckland, Lis. Soalnya pusat business semuanya di Auckland. Wellington lebih ke pusat pemerintahan. Ibarat New York v. Washington DC.
Delete