Sekolah di Auckland v. Jakarta
Akhir tahun 2019 ini, sudah 2 tahun penuh Abby resmi jadi anak SD, dan ngga kerasa, tahun depan udah mau kelas 3 aja dong dia! Makanya kayaknya sih udah sah ya nulis-nulis dikit soal perbedaan antara sekolah di sini dengan sekolah di Indonesia secara umum. Saya ngomong secara umum, karena soal sekolah di Indonesia, saya cuma dengar-dengar saja dari beberapa teman yang anaknya sama-sama SD. Di Indonesia jenis sekolah itu banyaknya gak kira-kira. Kurikulum, walau yang nasionalnya sama, tapi tambahan modifikasinya macam-macam banget. Sudah pasti saya nggak akan sanggup bahas secara detail. Makanya bahas yang lucu-lucu dan nyenengin aja, sekali lagi bukan untuk banding-bandingin serius (sebelum nanti dicap sok, banding-bandingin Indonesia dengan Selandia Baru), hanya untuk sebagai gambaran aja biar bisa berimajinasi sendiri. Semuanya yang saya tulis di sini hanya observasi pribadi, berdasarkan pengalaman sendiri dan kawan-kawan. Mungkin ada juga sekolah sistem berbeda dari sekolah-sekolah di Indonesia yang saya tidak tau, boleh dibantu untuk share di kolom komentar, supaya saya juga update. Yuk kita simak!
1. Soal Ibu-Ibu Sekolahan
Pembahasan seru ibu-ibu sekolahan di Indonesia (terutama di kota besar) pernah saya bahas di postingan khusus, silakan klik di sini. Postingan tersebut, biarpun ditulis secara ngasal sambil ngikik-ngikik sendiri, ternyata kok rame bener komentarnya dan banyak benernya. NAHLOH! Hahahaha. Dan setelah hampir 4 tahun jadi ibu-ibu sekolahan di sini mulai dari 2 tahun di TK dan 2 tahun di SD, resmilah kalau saya bilang, ibu-ibu sekolahan di sini itu bedanya kebangetan dengan ibu-ibu sekolahan di Indonesia! Nggak ada yang namanya geng arisan cantik, geng sarapan, geng ngobrol, dan berbagai kelompok lainnya. Di sini emak-emaknya pun nggak ada yang punya grup WA, apalagi saling heboh bahas peer dan tugas anak, gosipin guru, apalagi gosipin emak-emak lain hihihi. Anter sekolah, bentukannya macem-macem, ada yang masih pakai piyama (termasuk saya nih, kalau ngedrop anak juga suka gini hahahaha, gak turun dari mobil soalnya), pakai baju santai, sampai pakai baju kantoran. Apa ada yang ngobrol-ngobrol sehabis ngedrop anak? Nggak ada! Semua sibuk dengan aktivitas masing-masing dan buru-buru pergi ke tujuan lain. Pas jemput gimana? Ya beneran cuma jemput doang. Paling ketemu 10 menit lah sebelum anak keluar (kalau anaknya kelas 1-2 biasa ortunya masih masuk dan jemput). Sehabis jemput, ya udah bye-bye, sibuk masing-masing lagi. Kebanyakan anak cuma didrop-off dan pick-up. Orang tua hanya parkir kalau ada kebutuhan khusus, dan kebanyakan sekolah tidak punya tempat parkir. Flaaaattt banget deh interaksinya. Dengan demikian, kesimpulannya, drama ibu-ibu sekolahan, amat sangat diminimalisasi! Pokoknya GUE BANGET DEH! Likey-likey! Pas Abby dulu di TK di Jakarta walau cuma beberapa bulan, saya paling males interaksi sama ibu-ibu yang nongkrong. Mending saya tinggal ke pasar! Bukannya kenapa-napa, suster saya suka nguping, pembahasannya suka ganas-ganas dan cenderung ghibah. Mendingan gak ikutan... melipir dulu.
Ibu-ibu sini kompetitif gak sih kayak di Indonesia? Menurut saya sih masih ada, tapi level kompetitifnya mah rendah banget dibandingin di kampung halaman. Biasanya yang kayak gitu masih ada bau-bau Asianya tuh ortunya. Entah China, Korea, India, etc. Soalnya so far berdasarkan pengamatan, cuma ortu dari Asia yang masih suka semangat ngecekin anaknya udah di level mana. That's it! Mereka tetap gak suka ngejelekin orang, manipulasi orang, atau nyuruh anaknya saingan dengan anak lain. Yang saya salut itu, malah ortu ikut senang kalau teman anaknya berhasil, kasih selamat, dan memuji. Beneran muji loh ya, bukan basa basi. Anak-anakpun diencourage untuk ikut bahagia atas keberhasilan anak lain, jadi konsepnya lebih ke mendukung daripada saingan. Terasa banget kalau pas lagi sempat ngobrol, kalau salah satu ada kekhawatiran soal anaknya, pasti yang lain akan menenangkan, bukan memanasi, menakut-nakuti, atau kasih suggestion yang sok tau. Entah di sekolah lain gimana, pokoknya di sekolah anak saya, itu yang saya rasakan sampai saat ini.
2. Soal Pekerjaan Rumah
Perasaan dari saya TK dulu aja, udah ada tuh yang namanya pekerjaan rumah. Apalagi pas SD, setiap hari, pasti ada aja peer yang dibawa pulang, malah terkadang lebih dari satu mata pelajaran. Lalu di SD sini gimana? Apakah ada peer? Ada! Sampai sekarang ini, peernya diberikan hanya seminggu sekali. Dikasihnya Senin, harus dikumpulkan Jumat pagi. Gampang apa susah? Gampangnya kebangetan (kalau menurut saya). Untuk linguistik, hanya dikasih 11 kata yang masing-masing harus ditulis 3 kali, dan 1 kalimat yang harus ditulis ulang. Untuk matematika, pas kelas 1 hanya pengenalan angka dari 1-20, setiap minggu satu angka aja dong, masih ditambah mewarnai. Untuk kelas 2 ada hitungan sederhana. Intinya kalau sampai nggak mengerjakan peer, kata bang Rhoma itu ter-la-lu! Artinya orang tuanya cuek bebek binti gak perhatiin anak.
Nah yang jadi kewajiban di sekolah Abby adalah, membaca 1 bacaan per hari. Bisa dilakukan anaknya sendiri, bisa ditemani ortu. Sekolah meminjamkan buku bacaan 2 kali seminggu yang sesuai level baca anak (1 kelas dibagi jadi 5 grup sesuai dengan levelnya), dan setiap Jumat, anak akan membawa pulang 2 buku yang mereka bisa pilih sendiri di perpustakaan sebagai bacaan akhir pekan. Setiap hari, orang tua menulis buku apa yang dibaca oleh anaknya, dan tanda tangan. Jika rutin membaca (dan orang tuanya juga tidak pernah absen menulis dan tanda tangan di homework diary), setiap 25 malam, anak akan mendapatkan sertifikat. Dan jika setiap hari membaca, di akhir tahun anaknya akan mendapatkan medali. Buat anak-anak, dapat medali itu udah kayak menang olimpiade! Senangnya bukan main. Tapi perhatiin deh, tetap dibutuhkan kerjasama antara anak dan orang tua. Jadi orang tua nggak bisa lepas tangan walaupun sekolahnya gak terlalu susah.
3. Soal Pekerjaan Sekolah
Yang saya salut dari program di sini adalah, ngga ada tuh pekerjaan sekolah yang dibawa-bawa sampai ke rumah dan harus di selesaikan di rumah. Pekerjaan sekolah wajib diselesaikan di sekolah, sehingga urusan di sekolah, sama sekali tidak ada campur tangan orang tua. Termasuk tugas-tugas prakarya ya. Saya tuh jadi ingat cerita seorang teman, di Indonesia itu sering ada pekerjaan sekolah yang harus dilanjutkan di rumah, misalnya prakarya bikin rumah-rumahan. Pas di sekolah anaknya nempel kertas aja brantakan, tau-tau setelah dibawa pulang, kembali ke sekolah rumahnya sudah jadi berdiri megah dan spektakuler, dan anehnya guru juga tidak mempertanyakan prosesnya. Dikira macem Bandung Bondowoso gitu ya, dalam semalam, mejikkkk... semua kerjaan jadi beres.
Abby sendiri nggak terlalu banyak cerita di sekolah dia ngerjain apa. Yang dia cerita itu lebih banyak dia main sama siapa hari itu. Setahun dua kali, orang tua diundang oleh sekolah untuk melihat apa saja yang anak kita sudah kerjakan di sekolah. Dan caranya itu KEREN BANGET! Ini jujur keren banget konsepnya. Namanya adalah Student Led Conference (SLC). Orang tua harus mendaftar untuk slot waktu SLC ini. Biasanya sekitar 3 anak per 30 menit. Mulai jam pulang sekolah, orang tua yang hadir akan ditemani oleh anaknya sendiri, berkeliling ruang kelas, dan anaknya ini akan menjelaskan secara detail pencapaian di masing-masing bidang. Ngejelasinnya itu udah kayak MC pembawa acara loh! Asli, terbengong-bengong saya, padahal dia ngejelasin ke saya aja. Dan saya lihat, ya ampun ternyata di sekolah kerjaan anak saya banyak banget! Tulisan mengarang dia sudah berbuku-buku, begitupun matematika, seni, bahkan sampai ke pendidikan agama (karena anak saya sekolah di sekolah Katolik). Saya jadi sadar, anak-anak sini itu sangat ahli dalam menjelaskan, karena mereka sungguh paham mengenai konsep belajar itu sendiri. Yang jelas, bukan dicekokin hafalan, sehingga mereka enjoy banget dan bisa menjelaskan dengan rinci. Setelah itu orang tua bisa ngobrol-ngobrol kasual dengan gurunya tentang perkembangan anak. Pokoknya SLC ini mantep lah! Beneran sesuai namanya, STUDENT LED, alias anak kita sendiri yang memimpin konferensinya.
4. Soal Bayaran Sekolah
Ini dia yang sering menjadi momok orang tua di sekolah, yaitu soal bayaran. Konon denger-denger dari beberapa orang, bayaran sekolah di Indonesia makin tidak manusiawi, apalagi untuk sekolah-sekolah swasta interkultural. Kalau sekolah internasional sih jangan tanya ya, bayaran pasti mahal. Tapi banyak juga sekolah yang interkultural bayarannya nggak kalah mahal, padahal cuma modal pasang guru bule hehehe. Sekolah basis agama yang kualitas tinggi juga mahal banget. Mana masuk sekolah unggulan tuh rebutan cuy! Udah mahal, rebutan pula, makin bikin nambah pressure aja buat orang tua jaman now. Ya tentu ini variasi ya, banyak yang bilang, kalau mau murah, ya masuk sekolah negeri, kan gratis, atau masuk sekolah kelas kompleks perumahan sederhana, kan murah. Ini semua memang pilihan orang tua, tapi tau sendiri, kualitas pendidikan dan fasilitasnya kadang senjangnya tuh kejauhan gitu antara sekolah yang mahal dan murah, ditambah faktor-faktor lainnya. Dulu pas saya masih tinggal di Jakarta, sudah ngebayangin kalau dia masuk SD yang baik, saya harus rela nyetir minimal 1 jam per arah dari rumah ke sekolah.
Di sini gimana? Di sini tuh sekolah bisa dikategorikan 3 bagian besar. Kategori pertama adalah sekolah publik alias sekolah negeri. Ini adalah sekolah milik pemerintah yang tentunya gratis. Cukup bayar uang seragam saja, dan donasi (donasi ini tapinya nggak wajib loh ya). Kategori kedua adalah sekolah swasta bersubsidi, mayoritas adalah sekolah berbasis agama Katolik, ada juga yang Kristen tapi tidak banyak. Jadi tau sendiri lah ya orang Katolik ini memang sudah dikenal aktif di dunia pendidikan berkualitas dari dulu. Bayarannya ada tiap term, donasinya juga ada, uang seragam pasti ada, tapi menurut saya sih masih sangat-sangat manusiawi dibanding bayaran sekolah bagus di Jakarta. Untuk sekolah yang memang kualitasnya makin baik, donasinya memang bisa sampai besar banget, tapi tetap menurut saya masih manusiawi. Sekolah Abby ada di kategori kedua ini. Kategori ketiga adalah sekolah swasta murni alias tanpa bantuan dari pemerintah. Nah kalau saya bilang inilah sekolah yang bayarannya malah lebih mahal daripada bayaran kuliah hahahaha. Ada yang basis agama Kristen, ada juga yang murni tanpa basis agama. Bayarannya yaaaa gitu deee, cocok lah buat horang kayah. Mirip-mirip lah sama bayaran sekolah Internasional di Jakarta yang pake dolar itu. Sampai ada program cicilan juga loh! Tapi ya keliatan bukti kualitasnya. Beberapa dari sekolah ini memang bercokol di top 10 best school in NZ. Saingannya biasanya sekolah Katolik dan sekolah negeri unggulan yang sudah "mateng".
Yang lucu ya, entah di sekolah lain gimana, kalau di sekolah Abby, bayaran itu nggak ditagih-tagih sampai akhir term. Di akhir term cuma diingetin aja di newsletter, orang tua jangan lupa bayar sekolah. Dan bayarannya itu rata dari kelas 1 sampai 6. Terus ada juga uang alat tulis yang dibayar setahun sekali. Luar biasanya itu, kita orang tua beneran nggak perlu siapkan alat tulis apapun untuk anak kita. Semua alat tulis, buku pelajaran, bahan-bahan prakarya, 100 persen dari sekolah! Jadi anak saya bawa apaan ke sekolah setiap hari? Cuma lunch box, botol minum, sama Homework Diary dan buku bacaan yang dijadikan satu folder bag. Asli bengong saya. Di saat teman-teman di Jakarta pada protes tas anaknya berat banget sampai harus pakai koper geret, ditambah harus pakai locker di sekolah, di sini anaknya tas kosong melompong. Kebayang kalau saya dulu kecil sekolah di sini, juga hepi berat kali yeeeeee. Tau nggak yang bikin saya lebih seneng lagi adalah, jadi nggak ada tuh anak yang saing-saingan stationeries model terbaru atau apapun. Semua alat ya seragam dan sudah ada standardisasinya. (Mendadak keinget cerita, soal anak sekolah di Jakarta yang pakai tempat pinsil Hermes :P Hihihi).
5. Soal Nilai dan Rapor
Di Indonesia ada istilah Kriteria Ketuntasan Minimal alias KKM yang dicantumkan di rapor, dan KKM itu bentuknya berupa nilai misalnya 75 gitu. Kalau nggak mencapai itu, nilainya merah. KKM ini di set makin lama makin tinggi saja, supaya anak-anak belajarnya makin gila-gilaan juga. Perasaan jaman dulu, nilai merah itu artinya di bawah 6. Kalau sekarang, sudah dapat 70-an aja masih di bawah KKM dan terancam nggak naik. Pantesan denger teman-teman cerita, makin stress jadi orang tua demi supaya nggak ada warna merah di rapor.
Di Selandia Baru, sampai Abby di kelas dua ini, tidak sekalipun saya pernah melihat ada nilai apapun baik di dalam tugas sekolah maupun peernya. Guru cuma centang yang benar, coret yang salah. Gitu aja. Kalau anaknya bagus kerjaannya, gurunya biasa suka tulis "Great Job!" dan dikasih sticker lucu di kertas tugasnya. Lalu rapornya gimana? Ada nilainya apa nggak? Jawabannya, nggak sama sekali! Bahkan nggak ada banyak mata pelajaran. Sampai saat ini, cuma ada membaca, menulis, matematika, dan agama. Lalu gimana tau apakah anak kita perkembangan belajarnya sudah oke? Nah di rapor hanya dikasih kode saja. Di bawah ekspektasi, memenuhi ekspektasi, atau di atas ekspektasi. Iya gitu aja, plus ada kolom komentar dari gurunya. Kalau masih penasaran, tinggal bikin janji ngobrol aja sama gurunya. Rapor juga dikasih ke ortu di dalam amplop yang bisa dibuka di rumah. Jadi ortu nggak perlu ngantri di sekolah lalu ketemu gurunya dan diskusi sampai detail (phewww.... jadi inget pas jaman ngajar dulu. Murid cuma belasan, bagi rapor berjam-jam). So far, saya nggak pernah dengar ada anak ditegur karena nggak bisa pelajaran. Rata-rata ditegur cuma karena sikap alias behaviour. Konsep nilai tentu ada, tapi tidak diperkenalkan di usia dini. Apakah ada anak yang nggak naik kelas di SD? Belum pernah dengar sih. Kalau ada, nanti saya update deh.
6. Soal Guru
Waktu SD, saya itu selalu ada di kelas A. Konon katanya, kalau kelas A itu, selalu dapat guru paling galak, paling killer, pokoknya ganas-ganas deh. Saya masih ingat guru-guru itu kalau sudah kesal ya marahin murid, lempar pakai kapur, jewer, nyuruh jalan jongkok, pokoknya banyak hukuman fisiknya (plus mental tentunya). Guru bisa teriak dan melotot sama anak-anak nakal. Pokoknya banyak yang main emosi jiwa. Sekarang kan katanya nggak boleh lagi ya? Malah kecenderungannya jaman now itu orang tua bisa protes mati-matian dan super protektif sama anak, sampai-sampai banyak guru yang dipecat karena laporan orang tua, padahal mah tindakan gurunya masih masuk kategori wajar. Dari saya SD sampai SMA, sedekat-dekatnya saya dengan guru, saya nggak bisa berekspresi sama dengan anak-anak di sini saat mereka berinteraksi dengan gurunya.
Jujur, saya kaget sama guru-guru Abby. Kalemnya, lembutnya, sabarnya, tapi kok tegas loh. Saat mereka negur murid, mereka akan ngomong panjang lebar, kenapa kamu ditegur, apa konsekuensinya kalau kamu melakukan kesalahan dan saya tidak tegur, intinya ya explaining is very-very important. They took their time to ensure the kids understand. Anak-anak jadi bisa ikut meredam emosi. Entah makan pil apa para guru itu tiap hari sampai jadi super sabar. Belum pernah nemu guru yang judgmental terhadap anak. Satu-satunya yang galak di sekolah rasanya cuma kepala sekolahnya aja (yang konon sudah punya pengalaman puluhan tahun jadi kepala sekolah). Itupun biar galak dan suaranya sekenceng toa, tapi dia nggak killer dan nggak ditakutin murid. Jabatan kepala sekolah bukan berarti kastanya tinggi, justru malah makin melayani. Setiap mau liburan term break, kepala sekolahnya akan berdiri di depan pintu keluar parkiran, tak peduli cuaca panas ataupun dingin, melambai-lambaikan tangan dan mengucapkan selamat liburan ke anak-anak.
Entah gimana, semua murid bisa sayaaaang banget sama gurunya. Yang dibilang guru itu sama dengan orang tua di sekolah ya benar adanya. Murid-murid juga tidak segan berekspresi nunjukkin kalau mereka sayang sama gurunya dengan melukin, bikinin kartu, dan sebagainya. Pokoknya interaksinya tuh kekeluargaan deh. Saya sebagai orang tua juga bisa melepas anak dengan yakin kalau anak saya diperhatikan, dilindungi, dan disayang. Bahkan nih, kalau saya lagi jemput Abby ke sekolah, itu gurunya bisa jongkok dan ajak Tilly ngobrol, dan Tilly biasanya langsung meluk gurunya juga. Even a toddler can feel the love! Apakah semua guru begini? Saya nggak tau. Yang jelas dari TK sampai sekarang, ini yang saya alami.
Mungkin segitu aja dulu kali ya cerita saya soal sekolah anak di sini. Buat yang mau bagi pengalaman, monggo dikomen. Saya sih yakin, nggak semua sekolah di sini juga sama kualitas dan cara belajarnya. Pasti tiap sekolah punya ciri khas masing-masing dan tidak bisa disamaratakan. Lalu kok kesannya saya menilai pendidikan di sini positif banget ya? Kemungkinan besar sih karena saya melihat anak saya sendiri. Tiap pergi sekolah tuh kayak nggak ada beban sama sekali, malah cenderung hobi sekolah. Entah anak-anak lain gimana sih, cuma saya mah lihatnya, sekolah itu jadi sesuatu yang dia kangenin. Liburan kelamaan malah jadi bete dan malah ngga sabar ketemu teman dan gurunya. Entah nanti di tahun selanjutnya bakalan gimana, semoga akan terus begini. Buat saya sebagai orang tua, ngerasanya nyekolahin anak di sini = nggak pakai ribet! Saya tetap mantau anak, mastiin dia ngerjain tugas-tugasnya, siapkan makanan bergizi untuk ke sekolah, tapi saya nggak perlu urusan drama dengan guru, dengan ortu lain, apalagi stres mikirin uang pangkal (di sini ngga ada uang pangkal).
Cuma tetap yang namanya milih sekolah bagus itu penting untuk anak. Mirip seperti di Indonesia, sekolah bagus juga banyak peminatnya. Pendapat saya sih sama juga dengan ibu-ibu di Indonesia, kalau sekolah akan menentukan pergaulan. Secara statistik, makin bagus sekolahnya, makin bagus pergaulannya. SD-nya Abby saja waiting listnya sudah mau 5 tahun (iya bener, dari bayi masih dikandungan atau baru brojol, harus buruan daftar). Nanti pas mau masuk SMP, tantangan baru lagi untuk cari sekolah intermediate dan high school untuk Abby. Saat inipun, sudah mulai saya pikirkan pelan-pelan. Semoga otak anaknya tokcer, dan emaknya siap untuk antar jemput jauhan demi sekolah idaman. Semangattt!!
1. Soal Ibu-Ibu Sekolahan
Pembahasan seru ibu-ibu sekolahan di Indonesia (terutama di kota besar) pernah saya bahas di postingan khusus, silakan klik di sini. Postingan tersebut, biarpun ditulis secara ngasal sambil ngikik-ngikik sendiri, ternyata kok rame bener komentarnya dan banyak benernya. NAHLOH! Hahahaha. Dan setelah hampir 4 tahun jadi ibu-ibu sekolahan di sini mulai dari 2 tahun di TK dan 2 tahun di SD, resmilah kalau saya bilang, ibu-ibu sekolahan di sini itu bedanya kebangetan dengan ibu-ibu sekolahan di Indonesia! Nggak ada yang namanya geng arisan cantik, geng sarapan, geng ngobrol, dan berbagai kelompok lainnya. Di sini emak-emaknya pun nggak ada yang punya grup WA, apalagi saling heboh bahas peer dan tugas anak, gosipin guru, apalagi gosipin emak-emak lain hihihi. Anter sekolah, bentukannya macem-macem, ada yang masih pakai piyama (termasuk saya nih, kalau ngedrop anak juga suka gini hahahaha, gak turun dari mobil soalnya), pakai baju santai, sampai pakai baju kantoran. Apa ada yang ngobrol-ngobrol sehabis ngedrop anak? Nggak ada! Semua sibuk dengan aktivitas masing-masing dan buru-buru pergi ke tujuan lain. Pas jemput gimana? Ya beneran cuma jemput doang. Paling ketemu 10 menit lah sebelum anak keluar (kalau anaknya kelas 1-2 biasa ortunya masih masuk dan jemput). Sehabis jemput, ya udah bye-bye, sibuk masing-masing lagi. Kebanyakan anak cuma didrop-off dan pick-up. Orang tua hanya parkir kalau ada kebutuhan khusus, dan kebanyakan sekolah tidak punya tempat parkir. Flaaaattt banget deh interaksinya. Dengan demikian, kesimpulannya, drama ibu-ibu sekolahan, amat sangat diminimalisasi! Pokoknya GUE BANGET DEH! Likey-likey! Pas Abby dulu di TK di Jakarta walau cuma beberapa bulan, saya paling males interaksi sama ibu-ibu yang nongkrong. Mending saya tinggal ke pasar! Bukannya kenapa-napa, suster saya suka nguping, pembahasannya suka ganas-ganas dan cenderung ghibah. Mendingan gak ikutan... melipir dulu.
Ibu-ibu sini kompetitif gak sih kayak di Indonesia? Menurut saya sih masih ada, tapi level kompetitifnya mah rendah banget dibandingin di kampung halaman. Biasanya yang kayak gitu masih ada bau-bau Asianya tuh ortunya. Entah China, Korea, India, etc. Soalnya so far berdasarkan pengamatan, cuma ortu dari Asia yang masih suka semangat ngecekin anaknya udah di level mana. That's it! Mereka tetap gak suka ngejelekin orang, manipulasi orang, atau nyuruh anaknya saingan dengan anak lain. Yang saya salut itu, malah ortu ikut senang kalau teman anaknya berhasil, kasih selamat, dan memuji. Beneran muji loh ya, bukan basa basi. Anak-anakpun diencourage untuk ikut bahagia atas keberhasilan anak lain, jadi konsepnya lebih ke mendukung daripada saingan. Terasa banget kalau pas lagi sempat ngobrol, kalau salah satu ada kekhawatiran soal anaknya, pasti yang lain akan menenangkan, bukan memanasi, menakut-nakuti, atau kasih suggestion yang sok tau. Entah di sekolah lain gimana, pokoknya di sekolah anak saya, itu yang saya rasakan sampai saat ini.
2. Soal Pekerjaan Rumah
Perasaan dari saya TK dulu aja, udah ada tuh yang namanya pekerjaan rumah. Apalagi pas SD, setiap hari, pasti ada aja peer yang dibawa pulang, malah terkadang lebih dari satu mata pelajaran. Lalu di SD sini gimana? Apakah ada peer? Ada! Sampai sekarang ini, peernya diberikan hanya seminggu sekali. Dikasihnya Senin, harus dikumpulkan Jumat pagi. Gampang apa susah? Gampangnya kebangetan (kalau menurut saya). Untuk linguistik, hanya dikasih 11 kata yang masing-masing harus ditulis 3 kali, dan 1 kalimat yang harus ditulis ulang. Untuk matematika, pas kelas 1 hanya pengenalan angka dari 1-20, setiap minggu satu angka aja dong, masih ditambah mewarnai. Untuk kelas 2 ada hitungan sederhana. Intinya kalau sampai nggak mengerjakan peer, kata bang Rhoma itu ter-la-lu! Artinya orang tuanya cuek bebek binti gak perhatiin anak.
Nah yang jadi kewajiban di sekolah Abby adalah, membaca 1 bacaan per hari. Bisa dilakukan anaknya sendiri, bisa ditemani ortu. Sekolah meminjamkan buku bacaan 2 kali seminggu yang sesuai level baca anak (1 kelas dibagi jadi 5 grup sesuai dengan levelnya), dan setiap Jumat, anak akan membawa pulang 2 buku yang mereka bisa pilih sendiri di perpustakaan sebagai bacaan akhir pekan. Setiap hari, orang tua menulis buku apa yang dibaca oleh anaknya, dan tanda tangan. Jika rutin membaca (dan orang tuanya juga tidak pernah absen menulis dan tanda tangan di homework diary), setiap 25 malam, anak akan mendapatkan sertifikat. Dan jika setiap hari membaca, di akhir tahun anaknya akan mendapatkan medali. Buat anak-anak, dapat medali itu udah kayak menang olimpiade! Senangnya bukan main. Tapi perhatiin deh, tetap dibutuhkan kerjasama antara anak dan orang tua. Jadi orang tua nggak bisa lepas tangan walaupun sekolahnya gak terlalu susah.
3. Soal Pekerjaan Sekolah
Yang saya salut dari program di sini adalah, ngga ada tuh pekerjaan sekolah yang dibawa-bawa sampai ke rumah dan harus di selesaikan di rumah. Pekerjaan sekolah wajib diselesaikan di sekolah, sehingga urusan di sekolah, sama sekali tidak ada campur tangan orang tua. Termasuk tugas-tugas prakarya ya. Saya tuh jadi ingat cerita seorang teman, di Indonesia itu sering ada pekerjaan sekolah yang harus dilanjutkan di rumah, misalnya prakarya bikin rumah-rumahan. Pas di sekolah anaknya nempel kertas aja brantakan, tau-tau setelah dibawa pulang, kembali ke sekolah rumahnya sudah jadi berdiri megah dan spektakuler, dan anehnya guru juga tidak mempertanyakan prosesnya. Dikira macem Bandung Bondowoso gitu ya, dalam semalam, mejikkkk... semua kerjaan jadi beres.
Abby sendiri nggak terlalu banyak cerita di sekolah dia ngerjain apa. Yang dia cerita itu lebih banyak dia main sama siapa hari itu. Setahun dua kali, orang tua diundang oleh sekolah untuk melihat apa saja yang anak kita sudah kerjakan di sekolah. Dan caranya itu KEREN BANGET! Ini jujur keren banget konsepnya. Namanya adalah Student Led Conference (SLC). Orang tua harus mendaftar untuk slot waktu SLC ini. Biasanya sekitar 3 anak per 30 menit. Mulai jam pulang sekolah, orang tua yang hadir akan ditemani oleh anaknya sendiri, berkeliling ruang kelas, dan anaknya ini akan menjelaskan secara detail pencapaian di masing-masing bidang. Ngejelasinnya itu udah kayak MC pembawa acara loh! Asli, terbengong-bengong saya, padahal dia ngejelasin ke saya aja. Dan saya lihat, ya ampun ternyata di sekolah kerjaan anak saya banyak banget! Tulisan mengarang dia sudah berbuku-buku, begitupun matematika, seni, bahkan sampai ke pendidikan agama (karena anak saya sekolah di sekolah Katolik). Saya jadi sadar, anak-anak sini itu sangat ahli dalam menjelaskan, karena mereka sungguh paham mengenai konsep belajar itu sendiri. Yang jelas, bukan dicekokin hafalan, sehingga mereka enjoy banget dan bisa menjelaskan dengan rinci. Setelah itu orang tua bisa ngobrol-ngobrol kasual dengan gurunya tentang perkembangan anak. Pokoknya SLC ini mantep lah! Beneran sesuai namanya, STUDENT LED, alias anak kita sendiri yang memimpin konferensinya.
4. Soal Bayaran Sekolah
Ini dia yang sering menjadi momok orang tua di sekolah, yaitu soal bayaran. Konon denger-denger dari beberapa orang, bayaran sekolah di Indonesia makin tidak manusiawi, apalagi untuk sekolah-sekolah swasta interkultural. Kalau sekolah internasional sih jangan tanya ya, bayaran pasti mahal. Tapi banyak juga sekolah yang interkultural bayarannya nggak kalah mahal, padahal cuma modal pasang guru bule hehehe. Sekolah basis agama yang kualitas tinggi juga mahal banget. Mana masuk sekolah unggulan tuh rebutan cuy! Udah mahal, rebutan pula, makin bikin nambah pressure aja buat orang tua jaman now. Ya tentu ini variasi ya, banyak yang bilang, kalau mau murah, ya masuk sekolah negeri, kan gratis, atau masuk sekolah kelas kompleks perumahan sederhana, kan murah. Ini semua memang pilihan orang tua, tapi tau sendiri, kualitas pendidikan dan fasilitasnya kadang senjangnya tuh kejauhan gitu antara sekolah yang mahal dan murah, ditambah faktor-faktor lainnya. Dulu pas saya masih tinggal di Jakarta, sudah ngebayangin kalau dia masuk SD yang baik, saya harus rela nyetir minimal 1 jam per arah dari rumah ke sekolah.
Di sini gimana? Di sini tuh sekolah bisa dikategorikan 3 bagian besar. Kategori pertama adalah sekolah publik alias sekolah negeri. Ini adalah sekolah milik pemerintah yang tentunya gratis. Cukup bayar uang seragam saja, dan donasi (donasi ini tapinya nggak wajib loh ya). Kategori kedua adalah sekolah swasta bersubsidi, mayoritas adalah sekolah berbasis agama Katolik, ada juga yang Kristen tapi tidak banyak. Jadi tau sendiri lah ya orang Katolik ini memang sudah dikenal aktif di dunia pendidikan berkualitas dari dulu. Bayarannya ada tiap term, donasinya juga ada, uang seragam pasti ada, tapi menurut saya sih masih sangat-sangat manusiawi dibanding bayaran sekolah bagus di Jakarta. Untuk sekolah yang memang kualitasnya makin baik, donasinya memang bisa sampai besar banget, tapi tetap menurut saya masih manusiawi. Sekolah Abby ada di kategori kedua ini. Kategori ketiga adalah sekolah swasta murni alias tanpa bantuan dari pemerintah. Nah kalau saya bilang inilah sekolah yang bayarannya malah lebih mahal daripada bayaran kuliah hahahaha. Ada yang basis agama Kristen, ada juga yang murni tanpa basis agama. Bayarannya yaaaa gitu deee, cocok lah buat horang kayah. Mirip-mirip lah sama bayaran sekolah Internasional di Jakarta yang pake dolar itu. Sampai ada program cicilan juga loh! Tapi ya keliatan bukti kualitasnya. Beberapa dari sekolah ini memang bercokol di top 10 best school in NZ. Saingannya biasanya sekolah Katolik dan sekolah negeri unggulan yang sudah "mateng".
Yang lucu ya, entah di sekolah lain gimana, kalau di sekolah Abby, bayaran itu nggak ditagih-tagih sampai akhir term. Di akhir term cuma diingetin aja di newsletter, orang tua jangan lupa bayar sekolah. Dan bayarannya itu rata dari kelas 1 sampai 6. Terus ada juga uang alat tulis yang dibayar setahun sekali. Luar biasanya itu, kita orang tua beneran nggak perlu siapkan alat tulis apapun untuk anak kita. Semua alat tulis, buku pelajaran, bahan-bahan prakarya, 100 persen dari sekolah! Jadi anak saya bawa apaan ke sekolah setiap hari? Cuma lunch box, botol minum, sama Homework Diary dan buku bacaan yang dijadikan satu folder bag. Asli bengong saya. Di saat teman-teman di Jakarta pada protes tas anaknya berat banget sampai harus pakai koper geret, ditambah harus pakai locker di sekolah, di sini anaknya tas kosong melompong. Kebayang kalau saya dulu kecil sekolah di sini, juga hepi berat kali yeeeeee. Tau nggak yang bikin saya lebih seneng lagi adalah, jadi nggak ada tuh anak yang saing-saingan stationeries model terbaru atau apapun. Semua alat ya seragam dan sudah ada standardisasinya. (Mendadak keinget cerita, soal anak sekolah di Jakarta yang pakai tempat pinsil Hermes :P Hihihi).
5. Soal Nilai dan Rapor
Di Indonesia ada istilah Kriteria Ketuntasan Minimal alias KKM yang dicantumkan di rapor, dan KKM itu bentuknya berupa nilai misalnya 75 gitu. Kalau nggak mencapai itu, nilainya merah. KKM ini di set makin lama makin tinggi saja, supaya anak-anak belajarnya makin gila-gilaan juga. Perasaan jaman dulu, nilai merah itu artinya di bawah 6. Kalau sekarang, sudah dapat 70-an aja masih di bawah KKM dan terancam nggak naik. Pantesan denger teman-teman cerita, makin stress jadi orang tua demi supaya nggak ada warna merah di rapor.
Di Selandia Baru, sampai Abby di kelas dua ini, tidak sekalipun saya pernah melihat ada nilai apapun baik di dalam tugas sekolah maupun peernya. Guru cuma centang yang benar, coret yang salah. Gitu aja. Kalau anaknya bagus kerjaannya, gurunya biasa suka tulis "Great Job!" dan dikasih sticker lucu di kertas tugasnya. Lalu rapornya gimana? Ada nilainya apa nggak? Jawabannya, nggak sama sekali! Bahkan nggak ada banyak mata pelajaran. Sampai saat ini, cuma ada membaca, menulis, matematika, dan agama. Lalu gimana tau apakah anak kita perkembangan belajarnya sudah oke? Nah di rapor hanya dikasih kode saja. Di bawah ekspektasi, memenuhi ekspektasi, atau di atas ekspektasi. Iya gitu aja, plus ada kolom komentar dari gurunya. Kalau masih penasaran, tinggal bikin janji ngobrol aja sama gurunya. Rapor juga dikasih ke ortu di dalam amplop yang bisa dibuka di rumah. Jadi ortu nggak perlu ngantri di sekolah lalu ketemu gurunya dan diskusi sampai detail (phewww.... jadi inget pas jaman ngajar dulu. Murid cuma belasan, bagi rapor berjam-jam). So far, saya nggak pernah dengar ada anak ditegur karena nggak bisa pelajaran. Rata-rata ditegur cuma karena sikap alias behaviour. Konsep nilai tentu ada, tapi tidak diperkenalkan di usia dini. Apakah ada anak yang nggak naik kelas di SD? Belum pernah dengar sih. Kalau ada, nanti saya update deh.
6. Soal Guru
Waktu SD, saya itu selalu ada di kelas A. Konon katanya, kalau kelas A itu, selalu dapat guru paling galak, paling killer, pokoknya ganas-ganas deh. Saya masih ingat guru-guru itu kalau sudah kesal ya marahin murid, lempar pakai kapur, jewer, nyuruh jalan jongkok, pokoknya banyak hukuman fisiknya (plus mental tentunya). Guru bisa teriak dan melotot sama anak-anak nakal. Pokoknya banyak yang main emosi jiwa. Sekarang kan katanya nggak boleh lagi ya? Malah kecenderungannya jaman now itu orang tua bisa protes mati-matian dan super protektif sama anak, sampai-sampai banyak guru yang dipecat karena laporan orang tua, padahal mah tindakan gurunya masih masuk kategori wajar. Dari saya SD sampai SMA, sedekat-dekatnya saya dengan guru, saya nggak bisa berekspresi sama dengan anak-anak di sini saat mereka berinteraksi dengan gurunya.
Jujur, saya kaget sama guru-guru Abby. Kalemnya, lembutnya, sabarnya, tapi kok tegas loh. Saat mereka negur murid, mereka akan ngomong panjang lebar, kenapa kamu ditegur, apa konsekuensinya kalau kamu melakukan kesalahan dan saya tidak tegur, intinya ya explaining is very-very important. They took their time to ensure the kids understand. Anak-anak jadi bisa ikut meredam emosi. Entah makan pil apa para guru itu tiap hari sampai jadi super sabar. Belum pernah nemu guru yang judgmental terhadap anak. Satu-satunya yang galak di sekolah rasanya cuma kepala sekolahnya aja (yang konon sudah punya pengalaman puluhan tahun jadi kepala sekolah). Itupun biar galak dan suaranya sekenceng toa, tapi dia nggak killer dan nggak ditakutin murid. Jabatan kepala sekolah bukan berarti kastanya tinggi, justru malah makin melayani. Setiap mau liburan term break, kepala sekolahnya akan berdiri di depan pintu keluar parkiran, tak peduli cuaca panas ataupun dingin, melambai-lambaikan tangan dan mengucapkan selamat liburan ke anak-anak.
Entah gimana, semua murid bisa sayaaaang banget sama gurunya. Yang dibilang guru itu sama dengan orang tua di sekolah ya benar adanya. Murid-murid juga tidak segan berekspresi nunjukkin kalau mereka sayang sama gurunya dengan melukin, bikinin kartu, dan sebagainya. Pokoknya interaksinya tuh kekeluargaan deh. Saya sebagai orang tua juga bisa melepas anak dengan yakin kalau anak saya diperhatikan, dilindungi, dan disayang. Bahkan nih, kalau saya lagi jemput Abby ke sekolah, itu gurunya bisa jongkok dan ajak Tilly ngobrol, dan Tilly biasanya langsung meluk gurunya juga. Even a toddler can feel the love! Apakah semua guru begini? Saya nggak tau. Yang jelas dari TK sampai sekarang, ini yang saya alami.
Mungkin segitu aja dulu kali ya cerita saya soal sekolah anak di sini. Buat yang mau bagi pengalaman, monggo dikomen. Saya sih yakin, nggak semua sekolah di sini juga sama kualitas dan cara belajarnya. Pasti tiap sekolah punya ciri khas masing-masing dan tidak bisa disamaratakan. Lalu kok kesannya saya menilai pendidikan di sini positif banget ya? Kemungkinan besar sih karena saya melihat anak saya sendiri. Tiap pergi sekolah tuh kayak nggak ada beban sama sekali, malah cenderung hobi sekolah. Entah anak-anak lain gimana sih, cuma saya mah lihatnya, sekolah itu jadi sesuatu yang dia kangenin. Liburan kelamaan malah jadi bete dan malah ngga sabar ketemu teman dan gurunya. Entah nanti di tahun selanjutnya bakalan gimana, semoga akan terus begini. Buat saya sebagai orang tua, ngerasanya nyekolahin anak di sini = nggak pakai ribet! Saya tetap mantau anak, mastiin dia ngerjain tugas-tugasnya, siapkan makanan bergizi untuk ke sekolah, tapi saya nggak perlu urusan drama dengan guru, dengan ortu lain, apalagi stres mikirin uang pangkal (di sini ngga ada uang pangkal).
Cuma tetap yang namanya milih sekolah bagus itu penting untuk anak. Mirip seperti di Indonesia, sekolah bagus juga banyak peminatnya. Pendapat saya sih sama juga dengan ibu-ibu di Indonesia, kalau sekolah akan menentukan pergaulan. Secara statistik, makin bagus sekolahnya, makin bagus pergaulannya. SD-nya Abby saja waiting listnya sudah mau 5 tahun (iya bener, dari bayi masih dikandungan atau baru brojol, harus buruan daftar). Nanti pas mau masuk SMP, tantangan baru lagi untuk cari sekolah intermediate dan high school untuk Abby. Saat inipun, sudah mulai saya pikirkan pelan-pelan. Semoga otak anaknya tokcer, dan emaknya siap untuk antar jemput jauhan demi sekolah idaman. Semangattt!!
Memutuskan pindah ke sana berat di awal ya ci? tp kl mikir buat perkembangan anak terutama pendidikan dan kebutuhan anak di sana lbh manusiawi drpd disini.
ReplyDeleteanakku SD kelas 2, sudah masuk perkalian pembagian 1-10 dan bidang bangunan lengkap (rusuk,sisi etc wkwkkwkwk)... pdhl ini udah masuk skul swasta yg nyantai dan utamain karakter (katanya) :)
Di Indonesia tuh entah kenapa menurutku otaknya dipenuhi banget sama segala sesuatu yang sebenarnya belum sesuai untuk usianya, dan mostly ya ngafalin, bukan konsepnya. Si Abby ini, kelihatannya dia belajar hal sederhana, tapi dia bisa ngejelasin konsep, bukan cuma karena dihafal. Agak-agak mengagumkan sih kalau denger dia jelasin.
DeleteAgree heheh... Sukses buat kalian sekeluarga di sana ... GBU always
Deletedi NZ gimana ttg bullying ya Ci? Atau gmna sekolah mengajarkan anak2 utk tidak saling membully dan melindungi anak dari bullying..
ReplyDeletedi indo skrg ini bullying pun sudah merambah SD, bahkan TK. Ngeri kalii
Iseng kemarin ini saya tanya Abby, apa ada temannya yang suka nakal dan bully orang. Kata dia ada. Gurunya sudah pasti negur, dan mengajarkan anak yang dibully untuk melawan atau ignore jika dirasa tidak perlu dibalas. Kemudian katanya sih si pembully diajak ngomong 4 mata sama gurunya, disuruh take his own time untuk menyadari kesalahannya, risikonya terhadap orang lain, dan disuruh merenung. Literally merenung, diam, dikasih space.
DeleteSaya baru stress uang pangkal SMP 😂😂😂 kenapa sekolah sini mahal2 *hiks* jadi pengen pindah LN
ReplyDeleteYah bu.. kalo kata orang pasrah mah, hidup itu pilihan.. makanya jangan pilih sekolah yang mahal! Hahahahaha. Abis gitu gue digaplok.
DeleteBerat pelajaran sekolah disini emang Le, pas kelas 5SD aja emaknya udah gak bs ngajarin nih...
ReplyDeleteKalau pergaulan sih karena kerja jd gak gitu gaul disekolah anak, 3 anak SD di Jaktim disamain fine2 aja kayaknya, ibu2 baik2 pernah belum mandi kucel pake daster pas sabtu ke sekolah antar anak tetap emak2 yg kletemu ramah menyapa, pernah loh karena penampilan gak oke waktu di sekolah SD anak jaman dulu non di Cibinong sana gak pernah disapa ma ibu2 yang cantik2 eh pas dia jualan kuker baru nyapa nawarin kukernya, hi hi gak beli lah ya...
Nah, tapi kenapa giliran kuliah di luar negeri, kalau udah tingkat advance, seringnya KO sama anak lain yang pas awal-awal kuliah keliatannya biasa aja, tapi giliran konseptual kok lebih jago. Apa yang salah dengan pendidikan kita?
DeleteJadi in the end, tergantung sekolahnya ya kalau soal emak-emak itu.
itu pelajaran abby sd kayaknya pelajaran jayden di tk b sekarang deh hahahaha... dan bener banget, uang sekolah tuh mahalnya ga make sense... tapi enaknya di sekolah jayden sekarang, uang bayaran cuma di awal tahun ajaran doang, jadi di tengah2 uda ga ada pungutan apa2 lagi... bayarannya juga uda termasuk alat tulis, crayon, sikat gigi, periksa gigi juga, jadi ke sekolah sama kayak abby, cuma bawa tas sama lunch box dan botol minum doang hahahaha... dan untungnya lagi karena gua guru ekskul disana, jadi jayden masih dapet keringanan, ya lumayan deh hehehehe....
ReplyDeleteItu peernya, Mel yang kayak pelajarannya Jayden. Pekerjaan sekolahnya.. wuisss.. advance! Kaget, kirain sama kayak peer, gak taunya bukunya sama dengan yang dipake di Singapore! Peer itu di sini jadi malah lebih buat ngelatih responsibility di luar jam sekolah instead of pengulangan pelajaran di sekolah.
DeleteKalau TK di Jkt sih dulu si Abby emang ngga bawa apa-apa, Mel. Cuma bekal doang. Tapi setau gue kalau di Jkt udah SD sih, bawaan anak pada berat-berat ya. Coba ntar ditungggu pas Jayden SD deh, supaya lebih apple to apple. Wah lumayan jg jadi anak guru. Apalagi nanti Emily jg sekolah ya, Mel, brasa sekali keringanannya.
baru baca ini dan jadi penasaran. untuk kuliah disana gimana le? anakku kebetulan ini kls 10 dan mulai nyari2 sekolah yg cocok.
ReplyDeleteKalau kampus di Auckland yang terbagus itu University of Auckland (kayak kita mah ini UI gitu). Menurutku sih, kalau masuk sekolah bagus, plus kita mandiri di LN, otomatis ngelatih anak untuk jadi lebih responsible terhadap segala hal, mulai dari akademis sampai kehidupan sehari-hari. Kekurangan sekolah di Auckland menurutku adalah... biaya hidupnya ngeselin mahalnya haha. Mungkin boleh coba holiday ke sini untuk ngerasain, dan coba kira-kira bakalan betah atau ngga. (Cobain pas winter deh, kalau summer mah aman hihi).
Deletehahahah.. iya banyak yg cerita utk biaya hidupnya memang ngeselin ya. wkwkkw..
Deletebtw gw bisa minta alamat email lu ? kebetulan des ini kita bakal holiday ke NZ. yg wisata di north island gw banyak nyontek di blog elu ini. hahaha..
gw pingin nanya2 lagi.. thank youu leee
Yosefin, lu coba ke web version (klik di bawah page ini kalo lu view in mobile), trs send msg via blogger contact form deh. Nanti gue reply dr situ.
DeleteSiaaapppp
DeleteKalo di Indo skarang sufab mulai n
ReplyDeleteBermunculan sekolah macem sekolab Abby. Walau yang heitz tetep yang akademis sih. Benernya bukan kr pendidikan di Indonya. Tapi krn mak2 Indo itu entah mengapa sangat pengen anaknya cepet bisa ini itu dan ga ketinggalan sama anak lain.
Puji Tuhan anak2 yang skrang kelas 2 sd juga dapet sekolah yang kek sekolah Abby. Murah pula karena sekolah nasional.
Dan semoga dengan Nadiem menjadi menteri pendidikan bisa mengubah mindset ortu2 di Indonesia untuk berhenti menyiksa anak dengan kejar tayang belajar
Hehhe
Wah syukur deh kalau ada sekolah dengan konsep begini, tapi biayanya terjangkau. Biasanya yang model-model gini, mengedepankan karakter bla bla bla, dibandrol dengan harga yang ngga banget. Menurut gue mindset ortu di Indo itu karena memang sistem pendidikan di Indonya juga yang menuntut untuk seperti itu. Sekolah2 juga berlomba mendapat ranking yang terbaik. Mana ayam mana telur? Hehehe.
DeleteAku kesentil di bagian uang sekolah nih, karena beberapa waktu lalu di sekolahnya Josh orangtua dikasih surat yang isinya harga "khusus" untuk uang pangkal masuk jenjang berikutnya. Kenapa aku bilang khusus, karena ternyataaa setelah ngobrol sama ibu-ibu lainnya, harga tiap murid itu beda-beda lho. Bingung nggak tuh? Jadi tiap anak uang pangkalnya beda-beda, ada yang lebih mahal, ada yang lebih murah. Aku kaget banget sih karena kok ternyata nggak transparan banget. Pastinya nggak semua sekolah begini ya. Tapi karena Josh TK nya bakal pindah jadi aku nggak musingin sih hahaha cuma ya kok bingung ternyata ada yang begini toh model bayarannya.
ReplyDeleteSetau cici pas cici di Indonesia, uang pangkal sekolah anak memang beda-beda, apalagi kalau di sekolah Katolik, biasa disesuaikan dengan kemampuan ortu dan ada system subsidi silang. Tapi biasanya dikasih tau kisaran minimum yang diexpect sekolah itu brapa. Justru setau cici yang uang pangkalnya seragam dari dulu tuh sekolah Kristen (if i recall, penabur yang pakai flat rate), kemudian sekolah-sekolah interkultural yang biasanya memang udah pakai price list.
Delete