Menuju Kesempurnaan
Kira-kira dua bulan lalu, saat menikmati makan malam di Matamata sepulang dari Rotorua, saya menerima Facebook message dari salah seorang pembaca saya (you know who you are). Sebetulnya pesannya itu cuma karena memastikan kalau saya ini Leony yang blogger, dan meminta pertemanannya disetujui. Nah berhubung saya nggak bisa menyetujui permintaan orang yang belum saya kenal in person plus nggak sopan kalau orang sudah mengirim pesan lalu tidak dijawab, jadilah akhirnya saya membalas pesannya, dan berujung jadi ngobrol-ngobrol lumayan seru.
Salah satu topiknya adalah, si pembaca ini rupanya merasa dia itu perfeksionis, jadi nulis entry blog nggak jadi-jadi, atau pernah nulis tapi akhirnya pindah lagi ke alamat blog lain karena ngerasa kurang sempurna. Kemudian saya nanya balik ke orang tersebut. "Menurut lu gue perfeksionis nggak?" Dan kata dia, "Kayaknya loe termasuk perfeksionis deh, Le." Pertanyaan jadi muncul di kepala, yang tau saya perfeksionis itu siapa? Orang lain, atau diri saya? Dan apakah betul saya ini perfeksionis seperti yang dia kira?
Dua hari berikutnya, saya juga ngobrol dengan teman saya yang lain. Topiknya sih beda total, yaitu soal bagaimana dia nggak berani untuk nyetir mobil. Tapi kalimat dari dia ini yang menarik, "Aku lebih ke arah perfeksionis, mesti plan semua sampai detail." Kok bisa ya, pas selang beberapa hari, ada dua orang yang menganggap diri mereka perfeksionis. Pertanyaannya selanjutnya yang muncul di kepala, apakah istilah perfeksionis itu sebegitu dekatnya dengan ketidakinginan mengambil risiko gagal? Apakah menjadi seorang perfeksionis itu bagus?
Gara-gara ngobrol dengan si pembaca, saya jadi mikir, kenapa ya orang bisa nyebut saya perfeksionis, padahal nggak. Ditambah ngobrol dengan teman saya, semakin yakin lagi kalau saya memang bukan perfeksionis, karena saya ini termasuk "orang gila" yang mau mengambil risiko walaupun ada kemungkinan hasilnya tidak sempurna. Tambah yakin lagi kalau saya bukan perfeksionis, karena saya sempat hidup bertahun-tahun dengan seorang perfeksionis dengan kecenderungan Obsessive Compulsive Disorder (OCD) yaitu ibu saya sendiri. Hehehehe... Sorry, Mama, cerita boleh ya. Buat pengalaman kita semua. Tulisannya bakalan panjang nih.
Saya mau sharing sedikit kali ini. Ini pendekatan pribadi, bukan ilmu psikologi, jadi kalau memang tidak sesuai dengan ilmu tersebut, maafkanlah yah (sambil salaman ala Idul Fitri). Ada faktor yang menyebabkan saya berusaha tidak jadi seorang perfeksionis. Saya melihat sendiri bagaimana ibu saya yang luar biasa detail dan terencananya, punya utopia sendiri soal kesempurnaan yang dia ciptakan, mendadak jadi depresi berat saat Papa saya nggak ada. Saya pernah cerita sedikit di postingan ini mengenai depresi yang ibu saya alami. Mama terlalu punya banyak rencana soal masa depannya, terlalu indah, terlalu teratur, sehingga mama menjadi orang yang termasuk kurang fleksibel begitu papa dipanggil Tuhan, serasa hidup tidak punya tujuan lagi.
Saya memang belum pernah mengalami apa yang mama saya alami, yaitu kehilangan pasangan. Bisa saja saya lebih ambruk daripada mama. Namun melihat sejarahnya, mama memang punya kecenderungan perfeksionisme yang sudah terlihat dari saya kecil. Mama saya terlalu takut akan kegagalan, dan berat bagi dia untuk menerima berita kalau apa yang dia rencanakan tidak terlaksana. Ketika saya masih kecil, saya sudah biasa dimarahi karena nilai saya 95, bukan 100, padahal sudah paling tinggi di kelas. Saya sudah biasa juga dimarahi karena nyapu kamar tidak bersih menurut dia, sehingga dia menggerutu dan mengulang kembali menyapu, cuma untuk menujukkan kepada saya kalau debunya masih banyak. She demanded me to be like her. Untung hal tersebut tidak terjadi sampai saya besar, dan syukurnya karena saya termasuk "rebel" saya malah jadi anak yang lumayan mandiri. Di masa sekolah, saya bisa dibilang lumayan pintar walau tidak super cemerlang. Minimal, saya nggak pernah dapat nilai merah di rapor. Soalnya tipe di sekolah saya dulu, kalau nilai merah di rapor totalnya 2 atau lebih (contoh: nilai 5 ada 2 atau nilai 4 ada 1), orang tua sendiri yang harus mengambil rapor. Ibu saya boleh lah berbangga sedikit, 6 tahun sekolah di situ, gak pernah sekalipun dia harus datang untuk ambil rapor.
Di usia saya 17 tahun kurang, saya mulai belajar nyetir. Selain belajar di sekolah menyetir, kalau akhir pekan, papa saya sendiri yang melatih saya di lapangan parkir Pulomas. Berbeda dengan mama saya, papa saya adalah tipe yang lumayan berani ambil risiko dan lebih spontan. Bagi dia, laki-laki dan perempuan itu harus punya kapabilitas yang sama-sama mumpuni, apalagi soal nyetir. Papa tidak pernah ragu untuk mengajar anaknya dengan pakai mobilnya sendiri. Bagi dia, yang namanya mobil lecet, itu tidak masalah karena ya dipakai. Berbeda dengan mama saya, dia bisa langsung stress banget saat papa bilang kalau saya disuruh coba pakai mobil mama. Padahal dipikir-pikir, mobil dia ya papa saya juga yang beliin hehehehe. Dia maunya mobilnya mulus tak bernoda, dan saat mendengar usul dari papa kalau saya diminta latihan pakai mobilnya, wah itu jantungnya kayak mau copot. Nah yang lucunya, jaman dulu mama masih latihan nyetir mobil, dia sendiri pernah sampe nabrak keran di tembok, bahkan nyemplungin mobil ke got! Untung punya Papa yang selalu menyemangati dia untuk latihan nyetir, kalau nggak mah, udah stuck kali seumur hidup lantaran mama saya hampir ngga ada keinginan untuk bisa nyetir. Papa saya itu yang gembleng terus-terusan sampai mama saya akhirnya jago. Saya sendiri akhirnya lancar menyetir salah satunya ya karena saya tau, kalau papa saya kasih kepercayaan, kalau lecet tak mengapa, dan menjadikan lecet-lecet di mobil itu sebagai "sejarah" supaya di lain waktu saya lebih hati-hati.
Sepeninggal ayah saya, saya tau, kalau saya harus jadi orang yang kuat, yang nggak boleh takut mencoba, karena hidup itu begitu singkatnya, begitu tipisnya kesempatan yang Tuhan kasih untuk kita terus belajar, walaupun mungkin hasilnya tidak akan sempurna. Di sisi lain, saya juga banyak belajar soal perencanaan dari mama saya. Terlalu spontan juga gak bagus, terlalu terencana untuk sempurna sampai takut mencoba juga jelek. Hidup itu memang harus seimbang. Terlalu spontan misalnya, udah tau nggak bisa berenang, nekad daftar lomba renang nyebrang Selat Sunda. Mikir atuh mikirrr.... Hahahahaha. Intinya, tetap harus pakai pertimbangan apakah sesuatu itu attainable (ada kemungkinan berhasil dicapai) atau nggak.
Jaman saya kuliah dulu, saya termasuk berani mempertaruhkan nilai demi pengalaman yang didapat. Teman-teman saya juga suka bingung kenapa saya memilih kelas-kelas yang aneh, seringkali terkenal susah, padahal mengambil kelas dengan level di bawahnya saja sudah memenuhi syarat untuk lulus. Ada beberapa kelas nyeleneh yang saya ambil di luar syarat standar yang dicanangkan sekolah yang membuat saya punya risiko nilai A tidak ditangan. Ada yang akhirnya berakhir dengan cemerlang, ada juga yang berakhir dengan nilai yang seadanya. Beberapa yang berhasil contohnya, ballroom dancing (jelek-jelek gini joged mah lancar lah), art - drawing (anehnya karya saya malah kepilih buat pameran), menari Jawa (oh yes, gini gini tangan bisa lah melenting dikit-dikit. Bingung kan di Amerika ambil nari Jawa?). Kebetulan, di kelas-kelas itu saya masih dapat nilai A, lalu bagaimana dengan yang akhirnya malah bikin nilai saya hancur?
Nih contohnya saya ngambil kelas audit dengan profesor paling killer, padahal ada pilihan buat ambil dengan profesor lain. Nilai saya lumayan berantakan, saya harus berjuang mati-matian. Tapi ternyata kok saya dan si profesor malah berteman baik sampai setelah saya lulus. Ceritanya bisa dibaca di sini, dan tidak mungkin bisa saya lupakan sampai seumur hidup. Pernah juga saya mengambil kelas perpajakan untuk level master (S2), padahal saat itu saya masih level bachelor (S1) dan nggak butuh kelas itu untuk lulus dan akhirnya cuma dapat B. Buat saya, lumayan bisa belajar ilmu untuk anak S2 daripada saya isi kredit saya dengan kelas yang mudah dapat nilai A tapi tidak menantang, tapi buat teman-teman saya, saya itu agak "gila" sedikit lantaran mempertaruhkan nilai akhir.
Pengalaman tak terlupakan lainnya adalah saat saya nekad mengambil kelas Philosophy 341: Contemporary Moral Issues. Padahal untuk lulus saya cuma butuh kelas filosofi pengenalan alias yang kepala 100. Mengambil kelas kepala 300 itu agak-agak cari mati sedikit. Kenapa saya nekad ngambil kelas itu? Itu semua lantaran begitu baca syllabusnya aja, saya udah berbinar-binar. Saya suka banget sama topiknya. Nih liat aja.
"A philosophical study of some of the major moral issue in contemporary society, such as those concerning abortion, euthanasia, punishment, property, politics, sex, nuclear disarmament, and world hunger."
Seru banget nggak sih?! Aborsi, eutanasia, hukuman mati, wuihhhh... Pas hari pertama masuk kelas, saya nengok kanan kiri... dari 50-an orang, kayaknya cuma 3 siswa internasional-nya, sisanya orang lokal semua. Kemudian saya baru tau kalau di kelas itu Bahasa Inggris-nya sudah harus advance banget karena titik berat kelas ada pada final paper yang beratnya itu 50 persen dari nilai akhir. Saya pikir mestinya saya bisa lah ya, Bahasa Inggris saya kan nggak jelek-jelek amat. Hari pertama aja kelasnya sudah seru banget, lantaran diminta 6 volunteer untuk maju ke depan, dan memperdebatkan soal capital punishment alias hukuman mati. Saya nekad dong maju, dan beneran aja adrenalin saya kepompa banget ikut kelas ini. Sampai akhirnya, kelas ini jadi berat banget, susah banget, dan semua siswa internasionalnya sudah drop alias keluar, dan menyisakan saya seorang. Nilai ujian dan paper saya cuma pas-pasan banget untuk lulus. Tapi begitu final paper, saya sampai dipanggil langsung oleh profesornya karena, Saudara Saudariku... nilai saya F! Profesor saya juga bilang, kalau itu tidak diperbaiki, nilai akhir yang akan muncul di transkrip saya adalah F. Tapi melihat performance saya di kelas, dan setelah mengobrol langsung dengan saya, Profesor saya yakin saya mampu. Cuma karena saya bukan orang lokal, bahasa saya terlalu baku dan tidak enak dicerna. Ternyata level bahasa Inggris yang saya pikir lumayan itu, kalau buat kelas filosofi gak ada bagus-bagusnya. Rasanya saya pingin nangis, dan hampir putus asa, lalu sempat mikir, apakah saya membuat kesalahan dalam memilih kelas.
Profesor saya kasih kesempatan dua minggu untuk saya memperbaiki paper tersebut, dan yang saya lakukan adalah, setiap hari saya mampir ke writing center yang disediakan kampus, bikin janji dengan tutor-tutor di sana. Setiap hari saya belajar cara menulis yang runut ala kelas filosofi, dan setiap tiga hari sekali saya buat janji dan kembali lagi ke profesor saya untuk menanyakan apakah pattern yang saya buat sudah sesuai dengan ekspektasinya. Sampai akhirnya dua minggu berlalu, saya kumpulkan juga tugas akhir tersebut. Besoknya professor saya minta saya datang lagi, dan dia bilang, "I have never seen a student that worked as hard as you. And here's your paper." Dan saat itu air mata saya rasanya mau tumpah. Saya dapat B. Bukan A atau AB. Memang cuma B, tapi rasanya itu B yang benar-benar penuh perjuangan, B yang mengajarkan saya kalau saya nggak boleh menyerah atas pilihan yang sudah saya ambil. And my oh my, I truly learnt a lot from that class! Bukan cuma belajar menulis dengan baik, tapi juga belajar soal kehidupan, soal bagaimana bisa melihat isu-isu moral dari kedua belah sisi, terutama isu-isu sensitif yang sampai saat ini bisa dibilang tidak ada titik temunya. Nyesel nggak akhirnya nilainya gak bagus? Nggak sama sekali! It's only a B, but it was worth every single effort!
Hal berani ambil risiko ini terbawa juga di kehidupan sehari-hari saya dalam urusan percintaan. Saya ini percaya dengan yang namanya casual dating with no commitment, cukup untuk saling mengenal satu sama lain sebelum akhirnya memutuskan pacaran. Casual dating memang belum menjadi hal yang wajar di kalangan orang Jakarta saat itu, entah kalau sekarang ya, kayaknya gampang banget kencan sana sini. Jaman sepuluh tahun lalu atau lebih, orang di sekitar saya masih suka mikir yang nggak-nggak kalau saya pergi dengan cowok berduaan saja. Rasanya orang langsung asumsi, pergi berdua cowo, nonton dan makan bareng itu = pacaran. Rata-rata cewek suka takut dianggap "murahan" kalau pergi dengan gonta ganti cowok. Jadi maunya nunggu sampai ketemu dengan cowok sempurna (sempurna ini relatif ya), baru deh mau diajak pergi. Padahal, yang namanya cowok sempurna itu, bisa-bisa nggak dateng-dateng loh! Udah kagak jaman pangeran keliling nyariin Cinderella. Cinderella aja kudu usaha dateng duluan ke pesta dansa dengan dandanan pakem, kalau nggak mana ketemu dia sama si pangeran. Kalau buat saya, kalau ada cowok yang bisa memenuhi sebagian besar kriteria dasar yang sudah ada di otak saya, seandainya orang tersebut ajak saya keluar, yo wis, jalanin aja. Siapa tau cocok kan? Nggak takut di cap murahan, Le? Yuhuuuu....plis deh. Kita juga mikir kali siapa yang ngajak. Tentu nggak semuanya diladenin, harus tetep ada kriteria. Tapi kalau kita nggak kasih chance sama sekali sama orang yang pendekatan sama kita cuma gara-gara dia nggak sempurna, itu namanya kita menutup kemungkinan. Gara-gara suka casual dating ini, justru saya makin bisa tau apakah kriteria yang saya tetapkan itu sudah oke atau belum. Justru gara-gara saya banyak jalan sama orang, saya jadi tau tipe-tipe cowok gombalan hidung belang, pelit, nggak sopan, dan juga baik hati yang ternyata gak bisa saya dalami kalau saya cuma temanan gitu-gitu aja. Kalau saja dulu saya jual mahal dan nggak ngeladenin ajakan makan burger dari si suami, entah sudah nikah sama siapa saya sekarang ini. Hahahahah...
Nah itu cuma contoh-contoh cerita kenapa penting juga buat kita ambil risiko yang terukur di dalam hidup ini. Karena "kesempurnaan" itu sebenarnya tidak mungkin akan dicapai kalau kita nggak pernah mencoba mengambil risiko dalam hidup. Kenapa kata kesempurnaan itu saya kasih tanda kutip? Karena kesempurnaan manusia itu sesungguhnya itu tidak ada! Kata Bunda Dorce, kesempurnaan itu hanya milih Allah, dan itu benar adanya. Kalau sampai kita dibilang sempurna oleh orang lain, itu pasti karena orang lain tidak tau kalau apa yang dilihatnya sebagai sempurna itu sebetulnya banyak kurang-kurangnya, banyak cacatnya, dan banyak kerja kerasnya untuk mencapai titik itu.
Balik lagi ke kenapa saya bisa disebut perfeksionis oleh si pembaca, saya jadi bisa menarik kesimpulan kecil, kalau sesungguhnya, perfeksionisme itu justru bukan dihasilkan oleh seorang yang perfeksionis! Nahloh, kok bisa? Begini kira-kira jabarannya. Si pembaca mengira saya seorang perfeksionis, karena dia melihat dari blog saya, cara saya menulis, dan mungkin dari foto-foto atau cerita-cerita, sepertinya semuanya itu kelihatan "perfect" alias sempurna. Padahal kenapa bisa terlihat seperti itu, bukan karena saya orangnya perfeksionis, melainkan karena saya sudah terbiasa menjalankan dan melatih diri untuk menulis dan mencoba merutinkan menulis. Sementara, si pembaca saya yang merasa dirinya perfeksionis, justru malah takut mencoba menulis. Kenapa? Karena ngerasa kalau nulis nggak sempurna, itu jadi nggak afdol. Padahal, sempurna atau tidak, seringkali bukan kita yang menentukan loh, melainkan apa yang orang lain persepsikan. Nah, jadi apa hasil dari seorang perfeksionis? Hasilnya justru malah nggak ada! Loh, kok gitu? Yah gimana mau ada hasil kalau nyoba saja nggak berani kan?
Gara-gara merenung soal perfeksionisme ini, saya malah jadi baca-baca dikit mengenai relasi antara seseorang yang perfeksionis dan ketakutannya untuk mencoba hal baru, ternyata memang nyambung banget! Ternyata, perfeksionisme kalau dibiarkan terus menerus, bisa menjadi bahaya dan bumerang bagi diri sendiri, bahkan bisa membuat orang disekitarnya tergeret masuk di dalam dunia yang penuh dengan tekanan. Selama ini banyak orang yang salah mengerti mengenai arti perfeksionis. Orang mengira, kalau seseorang itu perfeksionis, artinya mereka akan berusaha mati-matian dan bekerja berlebihan supaya hasil yang dicapai itu sempurna tak bercela. Ya itu ada benarnya juga. Tetapi ternyata perfeksionis itu justru kebanyakan sangat takut untuk berbuat salah, sampai akhirnya mereka terlalu fokus untuk memikirkan apa yang sempurna menurut dirinya, dan pada akhirnya tidak mengerjakan apa yang semestinya mereka kerjakan dan berakhir dengan frustrasi. Mereka takut akan flaw (kelemahan) yang mereka pikir akan dilihat oleh orang lain, padahal seringkali cuma dia yang tau, dan sejujurnya orang lain tidak terlalu peduli juga.
Ada dua artikel yang menurut saya sangat bagus dan mudah dicerna mengenai perfeksionisme ini. Bukan artikel medis kok, jadi gampang banget dibacanya. Yang pertama adalah: How to Stop Being a Perfectionist dan yang kedua: Scared to Try: Moving Beyond The Paralysis of Perfectionism.
Saya mau cuplik sebagian dari artikel pertama yang menurut saya bagus banget untuk dibagikan.
How to Stop Being Perfectionist
First, embrace imperfection. It's totally normal and nothing to be ashamed of! Take pride in finishing things, getting them out there and learning from the process and feedback so you can get better next time. Make a deadline and finish the job. Now move on to something else.
Now understand that being a perfectionist kills creativity and productivity. Keep you standards high but be realistic. Settle for as good as can be in the time available. If people like what you've done or you're still interested, you can always come back and improve it another time.
Finally, accept that perfection doesn't exist. You'll be happier and more productive for it.
Jadi, jangan takut untuk mencoba selama itu realistis. Mau menulis blog? Tulislah! Mau belajar nyetir mobil? Belajarlah! Seandainya ada typo, kalimat yang aneh, bahkan lecet di mobil, masih bisa diperbaiki. Bersenang-senanglah dan nikmati hidup (secara bertanggung jawab, penting ini!). Jika punya cita-cita yang sekiranya masih bisa tercapai dan kesempatan itu datang, cobalah! Risiko pasti ada, tapi kata orang, mendingan gagal karena mencoba daripada penasaran seumur hidup gara-gara nggak pernah nyoba atau kata emak-emak: mendingan gendutan dikit tapi makan enak daripada penasaran nggak nyobain sama sekali. Hihihi.
Sepeninggal ayah saya, saya tau, kalau saya harus jadi orang yang kuat, yang nggak boleh takut mencoba, karena hidup itu begitu singkatnya, begitu tipisnya kesempatan yang Tuhan kasih untuk kita terus belajar, walaupun mungkin hasilnya tidak akan sempurna. Di sisi lain, saya juga banyak belajar soal perencanaan dari mama saya. Terlalu spontan juga gak bagus, terlalu terencana untuk sempurna sampai takut mencoba juga jelek. Hidup itu memang harus seimbang. Terlalu spontan misalnya, udah tau nggak bisa berenang, nekad daftar lomba renang nyebrang Selat Sunda. Mikir atuh mikirrr.... Hahahahaha. Intinya, tetap harus pakai pertimbangan apakah sesuatu itu attainable (ada kemungkinan berhasil dicapai) atau nggak.
Jaman saya kuliah dulu, saya termasuk berani mempertaruhkan nilai demi pengalaman yang didapat. Teman-teman saya juga suka bingung kenapa saya memilih kelas-kelas yang aneh, seringkali terkenal susah, padahal mengambil kelas dengan level di bawahnya saja sudah memenuhi syarat untuk lulus. Ada beberapa kelas nyeleneh yang saya ambil di luar syarat standar yang dicanangkan sekolah yang membuat saya punya risiko nilai A tidak ditangan. Ada yang akhirnya berakhir dengan cemerlang, ada juga yang berakhir dengan nilai yang seadanya. Beberapa yang berhasil contohnya, ballroom dancing (jelek-jelek gini joged mah lancar lah), art - drawing (anehnya karya saya malah kepilih buat pameran), menari Jawa (oh yes, gini gini tangan bisa lah melenting dikit-dikit. Bingung kan di Amerika ambil nari Jawa?). Kebetulan, di kelas-kelas itu saya masih dapat nilai A, lalu bagaimana dengan yang akhirnya malah bikin nilai saya hancur?
Nih contohnya saya ngambil kelas audit dengan profesor paling killer, padahal ada pilihan buat ambil dengan profesor lain. Nilai saya lumayan berantakan, saya harus berjuang mati-matian. Tapi ternyata kok saya dan si profesor malah berteman baik sampai setelah saya lulus. Ceritanya bisa dibaca di sini, dan tidak mungkin bisa saya lupakan sampai seumur hidup. Pernah juga saya mengambil kelas perpajakan untuk level master (S2), padahal saat itu saya masih level bachelor (S1) dan nggak butuh kelas itu untuk lulus dan akhirnya cuma dapat B. Buat saya, lumayan bisa belajar ilmu untuk anak S2 daripada saya isi kredit saya dengan kelas yang mudah dapat nilai A tapi tidak menantang, tapi buat teman-teman saya, saya itu agak "gila" sedikit lantaran mempertaruhkan nilai akhir.
Pengalaman tak terlupakan lainnya adalah saat saya nekad mengambil kelas Philosophy 341: Contemporary Moral Issues. Padahal untuk lulus saya cuma butuh kelas filosofi pengenalan alias yang kepala 100. Mengambil kelas kepala 300 itu agak-agak cari mati sedikit. Kenapa saya nekad ngambil kelas itu? Itu semua lantaran begitu baca syllabusnya aja, saya udah berbinar-binar. Saya suka banget sama topiknya. Nih liat aja.
"A philosophical study of some of the major moral issue in contemporary society, such as those concerning abortion, euthanasia, punishment, property, politics, sex, nuclear disarmament, and world hunger."
Seru banget nggak sih?! Aborsi, eutanasia, hukuman mati, wuihhhh... Pas hari pertama masuk kelas, saya nengok kanan kiri... dari 50-an orang, kayaknya cuma 3 siswa internasional-nya, sisanya orang lokal semua. Kemudian saya baru tau kalau di kelas itu Bahasa Inggris-nya sudah harus advance banget karena titik berat kelas ada pada final paper yang beratnya itu 50 persen dari nilai akhir. Saya pikir mestinya saya bisa lah ya, Bahasa Inggris saya kan nggak jelek-jelek amat. Hari pertama aja kelasnya sudah seru banget, lantaran diminta 6 volunteer untuk maju ke depan, dan memperdebatkan soal capital punishment alias hukuman mati. Saya nekad dong maju, dan beneran aja adrenalin saya kepompa banget ikut kelas ini. Sampai akhirnya, kelas ini jadi berat banget, susah banget, dan semua siswa internasionalnya sudah drop alias keluar, dan menyisakan saya seorang. Nilai ujian dan paper saya cuma pas-pasan banget untuk lulus. Tapi begitu final paper, saya sampai dipanggil langsung oleh profesornya karena, Saudara Saudariku... nilai saya F! Profesor saya juga bilang, kalau itu tidak diperbaiki, nilai akhir yang akan muncul di transkrip saya adalah F. Tapi melihat performance saya di kelas, dan setelah mengobrol langsung dengan saya, Profesor saya yakin saya mampu. Cuma karena saya bukan orang lokal, bahasa saya terlalu baku dan tidak enak dicerna. Ternyata level bahasa Inggris yang saya pikir lumayan itu, kalau buat kelas filosofi gak ada bagus-bagusnya. Rasanya saya pingin nangis, dan hampir putus asa, lalu sempat mikir, apakah saya membuat kesalahan dalam memilih kelas.
Profesor saya kasih kesempatan dua minggu untuk saya memperbaiki paper tersebut, dan yang saya lakukan adalah, setiap hari saya mampir ke writing center yang disediakan kampus, bikin janji dengan tutor-tutor di sana. Setiap hari saya belajar cara menulis yang runut ala kelas filosofi, dan setiap tiga hari sekali saya buat janji dan kembali lagi ke profesor saya untuk menanyakan apakah pattern yang saya buat sudah sesuai dengan ekspektasinya. Sampai akhirnya dua minggu berlalu, saya kumpulkan juga tugas akhir tersebut. Besoknya professor saya minta saya datang lagi, dan dia bilang, "I have never seen a student that worked as hard as you. And here's your paper." Dan saat itu air mata saya rasanya mau tumpah. Saya dapat B. Bukan A atau AB. Memang cuma B, tapi rasanya itu B yang benar-benar penuh perjuangan, B yang mengajarkan saya kalau saya nggak boleh menyerah atas pilihan yang sudah saya ambil. And my oh my, I truly learnt a lot from that class! Bukan cuma belajar menulis dengan baik, tapi juga belajar soal kehidupan, soal bagaimana bisa melihat isu-isu moral dari kedua belah sisi, terutama isu-isu sensitif yang sampai saat ini bisa dibilang tidak ada titik temunya. Nyesel nggak akhirnya nilainya gak bagus? Nggak sama sekali! It's only a B, but it was worth every single effort!
Hal berani ambil risiko ini terbawa juga di kehidupan sehari-hari saya dalam urusan percintaan. Saya ini percaya dengan yang namanya casual dating with no commitment, cukup untuk saling mengenal satu sama lain sebelum akhirnya memutuskan pacaran. Casual dating memang belum menjadi hal yang wajar di kalangan orang Jakarta saat itu, entah kalau sekarang ya, kayaknya gampang banget kencan sana sini. Jaman sepuluh tahun lalu atau lebih, orang di sekitar saya masih suka mikir yang nggak-nggak kalau saya pergi dengan cowok berduaan saja. Rasanya orang langsung asumsi, pergi berdua cowo, nonton dan makan bareng itu = pacaran. Rata-rata cewek suka takut dianggap "murahan" kalau pergi dengan gonta ganti cowok. Jadi maunya nunggu sampai ketemu dengan cowok sempurna (sempurna ini relatif ya), baru deh mau diajak pergi. Padahal, yang namanya cowok sempurna itu, bisa-bisa nggak dateng-dateng loh! Udah kagak jaman pangeran keliling nyariin Cinderella. Cinderella aja kudu usaha dateng duluan ke pesta dansa dengan dandanan pakem, kalau nggak mana ketemu dia sama si pangeran. Kalau buat saya, kalau ada cowok yang bisa memenuhi sebagian besar kriteria dasar yang sudah ada di otak saya, seandainya orang tersebut ajak saya keluar, yo wis, jalanin aja. Siapa tau cocok kan? Nggak takut di cap murahan, Le? Yuhuuuu....plis deh. Kita juga mikir kali siapa yang ngajak. Tentu nggak semuanya diladenin, harus tetep ada kriteria. Tapi kalau kita nggak kasih chance sama sekali sama orang yang pendekatan sama kita cuma gara-gara dia nggak sempurna, itu namanya kita menutup kemungkinan. Gara-gara suka casual dating ini, justru saya makin bisa tau apakah kriteria yang saya tetapkan itu sudah oke atau belum. Justru gara-gara saya banyak jalan sama orang, saya jadi tau tipe-tipe cowok gombalan hidung belang, pelit, nggak sopan, dan juga baik hati yang ternyata gak bisa saya dalami kalau saya cuma temanan gitu-gitu aja. Kalau saja dulu saya jual mahal dan nggak ngeladenin ajakan makan burger dari si suami, entah sudah nikah sama siapa saya sekarang ini. Hahahahah...
Nah itu cuma contoh-contoh cerita kenapa penting juga buat kita ambil risiko yang terukur di dalam hidup ini. Karena "kesempurnaan" itu sebenarnya tidak mungkin akan dicapai kalau kita nggak pernah mencoba mengambil risiko dalam hidup. Kenapa kata kesempurnaan itu saya kasih tanda kutip? Karena kesempurnaan manusia itu sesungguhnya itu tidak ada! Kata Bunda Dorce, kesempurnaan itu hanya milih Allah, dan itu benar adanya. Kalau sampai kita dibilang sempurna oleh orang lain, itu pasti karena orang lain tidak tau kalau apa yang dilihatnya sebagai sempurna itu sebetulnya banyak kurang-kurangnya, banyak cacatnya, dan banyak kerja kerasnya untuk mencapai titik itu.
Balik lagi ke kenapa saya bisa disebut perfeksionis oleh si pembaca, saya jadi bisa menarik kesimpulan kecil, kalau sesungguhnya, perfeksionisme itu justru bukan dihasilkan oleh seorang yang perfeksionis! Nahloh, kok bisa? Begini kira-kira jabarannya. Si pembaca mengira saya seorang perfeksionis, karena dia melihat dari blog saya, cara saya menulis, dan mungkin dari foto-foto atau cerita-cerita, sepertinya semuanya itu kelihatan "perfect" alias sempurna. Padahal kenapa bisa terlihat seperti itu, bukan karena saya orangnya perfeksionis, melainkan karena saya sudah terbiasa menjalankan dan melatih diri untuk menulis dan mencoba merutinkan menulis. Sementara, si pembaca saya yang merasa dirinya perfeksionis, justru malah takut mencoba menulis. Kenapa? Karena ngerasa kalau nulis nggak sempurna, itu jadi nggak afdol. Padahal, sempurna atau tidak, seringkali bukan kita yang menentukan loh, melainkan apa yang orang lain persepsikan. Nah, jadi apa hasil dari seorang perfeksionis? Hasilnya justru malah nggak ada! Loh, kok gitu? Yah gimana mau ada hasil kalau nyoba saja nggak berani kan?
Gara-gara merenung soal perfeksionisme ini, saya malah jadi baca-baca dikit mengenai relasi antara seseorang yang perfeksionis dan ketakutannya untuk mencoba hal baru, ternyata memang nyambung banget! Ternyata, perfeksionisme kalau dibiarkan terus menerus, bisa menjadi bahaya dan bumerang bagi diri sendiri, bahkan bisa membuat orang disekitarnya tergeret masuk di dalam dunia yang penuh dengan tekanan. Selama ini banyak orang yang salah mengerti mengenai arti perfeksionis. Orang mengira, kalau seseorang itu perfeksionis, artinya mereka akan berusaha mati-matian dan bekerja berlebihan supaya hasil yang dicapai itu sempurna tak bercela. Ya itu ada benarnya juga. Tetapi ternyata perfeksionis itu justru kebanyakan sangat takut untuk berbuat salah, sampai akhirnya mereka terlalu fokus untuk memikirkan apa yang sempurna menurut dirinya, dan pada akhirnya tidak mengerjakan apa yang semestinya mereka kerjakan dan berakhir dengan frustrasi. Mereka takut akan flaw (kelemahan) yang mereka pikir akan dilihat oleh orang lain, padahal seringkali cuma dia yang tau, dan sejujurnya orang lain tidak terlalu peduli juga.
Ada dua artikel yang menurut saya sangat bagus dan mudah dicerna mengenai perfeksionisme ini. Bukan artikel medis kok, jadi gampang banget dibacanya. Yang pertama adalah: How to Stop Being a Perfectionist dan yang kedua: Scared to Try: Moving Beyond The Paralysis of Perfectionism.
Saya mau cuplik sebagian dari artikel pertama yang menurut saya bagus banget untuk dibagikan.
How to Stop Being Perfectionist
First, embrace imperfection. It's totally normal and nothing to be ashamed of! Take pride in finishing things, getting them out there and learning from the process and feedback so you can get better next time. Make a deadline and finish the job. Now move on to something else.
Now understand that being a perfectionist kills creativity and productivity. Keep you standards high but be realistic. Settle for as good as can be in the time available. If people like what you've done or you're still interested, you can always come back and improve it another time.
Finally, accept that perfection doesn't exist. You'll be happier and more productive for it.
Jadi, jangan takut untuk mencoba selama itu realistis. Mau menulis blog? Tulislah! Mau belajar nyetir mobil? Belajarlah! Seandainya ada typo, kalimat yang aneh, bahkan lecet di mobil, masih bisa diperbaiki. Bersenang-senanglah dan nikmati hidup (secara bertanggung jawab, penting ini!). Jika punya cita-cita yang sekiranya masih bisa tercapai dan kesempatan itu datang, cobalah! Risiko pasti ada, tapi kata orang, mendingan gagal karena mencoba daripada penasaran seumur hidup gara-gara nggak pernah nyoba atau kata emak-emak: mendingan gendutan dikit tapi makan enak daripada penasaran nggak nyobain sama sekali. Hihihi.
![]() |
Gambar diambil dari sini |
Dulu gw pengennya semua perfect tapi lama-lama jadi mikir, kalau nurutin harus sempurna semua, yang ada jadinya capek sendiri. Jadi ya udah jalanin aja apa adanya :D Pasrahin aja yang penting kita udah berusaha sebaik2nya.
ReplyDeleteBener, harus tetep striving for excellence, tapi jangan memaksakan diri atau jadi frustrasi kalau sampai ada sesuatu yang nggak kesampean.
DeleteBuLe, betapa kangen baca tulisanmu. Suka banget sama inti tulisannya. Ini sama dengan yang disampaikan banyak ahli di scars Indonesia Knowledge Forum yang kuikutin dua minggu lalu. Intinya ya itu, jangan takut salah dan mencoba. Karena kalau gak mulai-mulai risikonya lebih gede. Keren BuLe....
ReplyDeleteGak mulai-mulai bukan berarti resikonya lebih gede sih, Dan. Mungkin resikonya malah berkurang, tapi pengalaman dan excitementnya nggak ada. Ngeri kalau malah jadi dull hidupnya.
DeleteMantap banget kamu Leony,..althought you were raised by a perfeksionist but you’re not become one….Aku punya cici perfeksionis juga dan terus terang ribet dan jadi malas kalo berurusan sama dia,..Aku sendiri orangnya cincay, malah kebanyakan cincay nya..hahaha….Nice article Le…I like it a lot
ReplyDeleteIya Bertha, mama saya emang perfeksionis banget. Dia kemarin baca juga isi blog ini, terus dia bilang, "Semua yang kamu tulis soal Mama memang bener, Non." Hehehe. Ya hal positif yang mama saya punya tentu saya ambil, tapi yang jeleknya kalau bisa dihindari. Biar gimana hidup harus balance, terlalu cincai juga nggak bagus.
DeleteMamamu kayaknya gue banget, Le. Dulu aku menjalani hidup kayak gitu, penuh rencana detail, ingin semuanya sempurna, dan gak mau ada kesalahan sekecil apa pun. Dan aku bisa kayak gitu, karena "belajar" dari orangtuaku. Mereka, di mataku, menjalani hidup yang tak terencana, dan aku gak ingin seperti mereka. Ini gak jauh beda kamu lihat mamamu, lalu berpikir gak ingin seperti mamamu. :)
ReplyDeleteTapi lama-lama aku nyadar, sikap terlalu tegang gitu gak otomatis bikin hidup jadi lebih baik, karena aku lebih sering stres dan mudah marah gara-gara hal sepele dan gak penting. Jadi, sekarang aku udah mulai santai menjalani hidup. Gak "setegang" sebelumnya. Yang penting menjalani hidup dengan baik, sesuai yang kita inginkan, dan apa pun yang terjadi... terjadilah.
Wah Bang Hoeda, kayaknya tipe ortunya justru yang terlalu on the extreme side cueknya ya. Gak punya plan sama sekali juga bahaya, apalagi kalau sudah berkeluarga. Hidup memang harus go with the flow, tapi kan current/ arus itu kadang tenang kadang bergejolak. Kitanya tetep harus punya kontrol. Bener tuh, kalau perfeksonis suka jadi frustrasi sama hal-hal yang sebenernya nggak esensial (dan juga nggak terlalu mempengaruhi hidup kita), tapi somehow yang kecil bisa jadi besar kalau kita bikin stress.
Deletewahh tulisanmu ciamik le....panjangg dan dalemmm. hahaha. Yahh gua juga sepertinya setype sama mama kamu....( wewww..). Tapi itu duluu...sekarang udah bertobat...hahaha.Sekarang udah balik jadi orang yang sedikit santai dan gak banyak tuntutan harus sempurna...yang penting ada dan cukup, selalu bertoleransi dengan kegagalan dan not being perfect. sekarang mah mengalir ajaa....termasuk kalau anak2 gua dapet nilai jeblok...*cilaka dah
ReplyDeleteHaha, jadi perfeksionis akut ya jangan, tapi kelewat cincai juga jangan ci, apalagi buat anak-anak kudu ada goal yang bagus supaya semangat juangnya juga nggak melorot. Yang seimbang aja biar enak.
DeleteSebenarnya being perfectionist is not always bad, tergantung situasi kali ya.
ReplyDeleteDulu jaman aku les piano, aku sangat dituntut untuk perfeksionis. Bukan untuk jadi sempurna, tapi lebih untuk melatih ketekunan dan ketelitian aku dalam membaca not balok dan bermain piano itu sendiri. Tapi perfeksionis dalam bermain piano, nggak membuat aku menjadi orang yang perfeksionis. Malah dalam sehari-hari, bisa dibilang aku ini lumayan careless dan kadang cuek abis, hahaha.
Setuju sama statement terakhir. Nggak usah takut untuk mulai sesuatu yang baru. Salah atau gagal wajar, karena selalu ada yang pertama kali, kan. Dan bener banget tuh soal makan. Aku nggak pernah menyesal kalo makan (banyak), karena makan adalah hal yang paling menyenangkan, ahahaha
Jane, kayaknya kalo kamu pandangnya jadi dari scope yang lebih kecil, sementara saya mandangnya dari scope besar. Contoh scope kecil itu gini, kalau kita sudah komit untuk jadi pianis, atau apoteker, atau dokter, yang namanya striving for perfection itu sudah jadi WAJIB, bukan opsi lagi. Bayangin kalau jadi apoteker lalu ngeresepin obat salah itungan mg jadi g misalnya, wah bisa kolaps itu pasien hehehe.
DeleteNah, kalau yang saya maksud lebih ke arah scope besar misalnya gini: Kamu tau kamu suka dengan permainan piano, dan ada keinginan untuk les. Tapi kamu ngga mau les karena takut kalau nanti permainannya ngga perfect, dan keadaan ngga perfect bikin kamu jadi frustrasi dan stress sendiri. Nah, sisi itu yang saya maksud.
aq tersadarkan bahwa perfeksionis bisa saja jadi bumerang yaitu dg tidak melakukan apapun karena takut salah. Ah ya ya... jadi besok kalau isi CV tentang sifat2 dasar mesti ati2 nih jika ditanya langsung. hehee...
ReplyDeletetulisan cici mencerahkan, melihat dari sisi lain sifat perfeksionis. jadi aku simpulkan kalau perfeksionis akan menjadi baik jika digunakan saat mengerjakan sesuatu dg sungguh2 dan semangat pantang menyerah. akan menjadi kurang baik jika malah jadi gak mau melakukan sesuatu karena takut salah, juga saat perfeksionis membuat org menjadi kaku karena kenyataan tidak sesuai yang diharapkan.
Selama ini orang suka agak "proud" menyebut diri mereka perfeksionis. Merasa kalau perfeksionis itu adalah sifat yang baik karena artinya akan selalu striving untuk mencapai kesempurnaan dengan segala upaya tenaga. Padahal ya memang ada the other side of it, makanya saya share di sini.
DeleteAh iya bener banget ini, hidup memang mesti seimbang ya. Cukup tertemplak juga sih, soalnya aku tipe orang yang apa2 maunya diplan dgn bener dan semua harus jadi seperti itu. Makanya sbnrnya cukup frustasi juga waktu kena tipu pas waktu merit itu, soalnya semua plan sudah tertata rapih. Ehh hancur lebur krn ada variabel yg ga diperhitungkan sebelumnya..huaa.. Skrg lebih blajar ut lebih fleksibel dalam hidup..
ReplyDeleteYang namanya punya goal itu penting, pingin jadi perfect ya gak masalah. Eh tapi kalo kasus kamu kemarin itu, cici juga bakalan stress banget, karena kena tipu itu kan bener-bener di luar kontrol kita. Tapi memang salah satu yang bikin kamu tertarik adalah offer "sempurna" yang ditawarkan oleh si vendor dengan harga miring, jadinya tertarik juga. Yang penting sekarang sudah lewat ya Py, dan sudah punya happy little family :)
DeleteSuper bgt ...suka tulisannya
ReplyDeleteTiap denger kata super, jadi inget Pak Maryono. Hihihi.
DeleteLe aku termasuk org yg ngambil kelas gampang2 yg pasti dpt A punya hihihi.. pernah sih ambil kelas tanpa research dosennya dan ternyata susah.. tp survive jg sih. G baca blog elo, menurut g elo wanita tangguh dan perfeksionis sih memang.. hehehe keren banget dah pokoknya semua bisa.. dari masak, bersih2 rumah, kerja, hehehe
ReplyDeleteG baca ttg bokap lo juga i think he was a good man.. makanya nyokap misses him so bad.. ☺☺
Hahaha, most people juga rata-rata ngga mau ambil risky subjects sih Bon kalau di sekolah. Padahal sayang sih kalau kita dapat chance, kayak sekolah gue misalnya nawarin kelas-kelas yang menarik gitu, sementara kita punya waktu dan dana buat sekian tahun sekolah, ya buat gue mending dipakai buat yang seru-seru. Knowledge nambah, plus pengalaman juga nambah, dan gue percaya pas interview ke company2, itu keliatan. Makanya gue agak surprised dpt kerja di tmpt oke, while temen2 gue yang GPAnya jauh lebih tinggi drpd gue banyak yang kurang beruntung saat itu. Gue bukan perfeksionis sih, Bon. Cuma berusaha untuk balance di berbagai hal, biar dikit-dikit bisa ini itu, for the sake of getting the experience and surviving this world hahahhaa.
DeleteAsik banget le pas kuliah bisa ngambil kelas macem2 kaya gitu. Dan setuju jg sm lo kalo lo *agak agak gila* dengan nyobain kelas aneh2 yg levelnya hard itu. Sekaligus salut jg lo bisa kelarin kelas filosofi yang itu dengan nilai B.
ReplyDeleteBener yg dibilang di atas kalo lebih baik mencoba dan gagal daripada ga coba sama sekali. Dan lebih baik makan enak daripada penasaran karena ga coba hahahahaa.
Bener, Dea, itu sekolah gue asik banget punya subject2 yang menarik buat diambil. Lalu dana pendidikan gue kan terbatas, gue gak bisa sekolah lama-lama, so ya di kesempatan yang ada, gue usahakan ambil yang menarik. Istilahnya live life to the fullest, biar ngga sia-sia bisa dapat ilmu extra. Plus kalo dilihat jenis subjectnya, biar gue juga bisa balance otak kanan dan kiri.
DeleteHalo Salam Kenal,
ReplyDeleteKalau ada tombol like kaya di facebook pasti sudah saya like postingan ini..
Syukaa sekali,membuka cara padang saya tentang perfeksionis..
Hi, salam kenal juga. Kebetulan topik bahasannya bikin saya tergoda untuk nulis sisi yang berbeda.
DeleteIm definitely not perfectionist nor risk taker. Senengnya main aman, ga usah perfect, tapi nyaman. Tp terus berusaha improve nih mbak, biar ga stuck
ReplyDeleteMenjalani hidup, tetep harus punya tujuan tinggi, tetep harus punya goal yang terarah dan terukur walaupun hasilnya tidak sempurna, tapi usahanya tetap harus ada. Kalau ngga ya jadinya bosan juga, walaupun rasanya nyaman, tapi nggak ada challenge lagi.
Deleteyang gua salut dari lu tuh kegigihan lu tuh ny. hebat banget. baca tentang yang lu ambil filosofi itu mantep banget. bener2 niat untuk belajar lu tinggi sekali ya! :D
ReplyDeletegua orangnya model kayak nyokap lu. entah perfeksionis atau apa. tapi ya gitu apa2 di plan. trus jadi anxious banget. dan kalo plan nya gak tercapai jadi baper. hahaha. esther lebih kayak bokap lu yang lebih easy going. jadi kita balance each other. hahaha. kalo bukan karena esther, gua gak bakal dah bisa nekad pindah ke US kayak sekarang. hahaha.
emang intinya gak boleh 'terlalu' ya. terlalu perfeksionis atau terlalu cuek juga gak bagus. mesti bisa balance aja ideal nya. :D
Gue tuh pengen belajar karena ya topiknya menarik, rasanya sayang banget buat dilewatin. Kalau topiknya nggak sesuai interest gue, tentulah drivenya beda, Man. Makanya gue berani ambil risiko buat nyoba kelasnya.
DeleteLu and Esther makanya dipasangkan sama Tuhan buat jadi suami istri, supaya bisa balance each other, Man.
Kak, itu hyperlink entri tentang Pak Professor scroll down blog atau gimana? Itu kan tulisan tahun 2006. 😮
ReplyDeleteAda menunya kan kalau buka dari desktop. Kalau dari mobile ya lebih susah.
DeleteLe, tulisan u isinya bagus-bagus, mengena, cukup detail, to the point, dan banyak studi kasusnya alias contoh-contoh real jadi lebih kena buat gw yang baca ya.. menurut gw sih perfeksionis itu ga salah asal jangan sampe terlalunya.. sampe ga melakukan apapun..
ReplyDeletesteve jobs perfeksionis banget sampe titik koma produknya diperhatikan tapi dia juga berani bertindak sehingga menghasilkan inovasi yang kita kenal sekarang..
Striving for excellence itu memang hal yang bagus sih, Car. Tapi kalau jadi perfeksionis yang akut, salah satunya Steve Jobs seperti yang lu mentioned, itu juga nggak bagus. Gue berusaha lihat dari sisi balance in life-nya ya.
DeleteKalau lu baca soal Steve Jobs, saking perfeksionisnya dia, dia tuh sampai ngga mau keluarin produk hampir 3 tahun, cuma gara-gara dia ngerasa msh belum sempurna, padahal karyawan Apple itu kan ada banyak ya, kalau dia ngga launch2, gimana nasib karyawan lain. Dia tuh sampai harus ditegur dulu, baru mau delegate ke orang lain. Ibaratnya mesti lepasin sifat perfeksionisnya sedikit, supaya kehidupan perusahaan bs jalan. In his personal life, Steve Jobs itu juga dikenal sebagai orang yang sangat egois, relationship dia dengan partners dan keluarganya juga nggak bagus, plus dia nggak pernah do any charity. Gue cuma salut sama Steve Jobs dari sisi Apple product innovation, but the rest of his life, agak-agak "ngeri" hehehehe.
Mau tau yang lebih parah daripada menjadi seorang perfeksionis ?
ReplyDeletePunya boss yang perfeksionis :)
Mau tau yang lebih parah daripada punya boss yang perfeksionis ?
Punya boss perfeksionis tapi sucks at planning :)
R.
Haha, R ini siapa ya? Haduh, itu tuh hal yang paling parah. Perfeksionis, tapi kok bisa sucks at planning. Padahal kalau perfeksionis beneran biasanya planning sampai detail sampai printilan dan in control banget. Kalau ini perfeksonis tapi demanding ya? Ya memang ada sih kayak gitu, biasanya orang kayak gini jadi bosnya langsung nih, alias warisan pangkat, ngga ngerasain dari bottom ladder. Bisa juga sih saya salah nebak. Tapi kalau saya nebaknya bener, boleh juga berarti analisanya hahahahaha.
DeleteHi ci... baca yg ini jadi gong tersendiri buat saya, saya ngeh bgt nh saya ada indikasi perfeksionis, semua hrs terencana hasil hrs sempurna...sampai2 kalau gagal, bisa taruh tekanan besar ke diri sendiri, thanks God, he put someone in my life (my hubby) yg super cinchai, buat ngebalance sifat saya satu itu... by time saya belajar utk lbh mau menerima gagal itu wajar. ����
ReplyDeleteThank you for your sharing ci, bermanfaat bgt.
Hi Anon, memang biasanya in relationship, ada opposite attract untuk balancing each other out. Kayaknya sudah diatur Tuhan begitu ya hehehe. Semoga kamu juga bisa narik suami supaya nggak terlalu super cincai, karena itu bisa bahaya juga. Biar gimana harus bisa saling balance, tarik ulur, supaya tetap ada goal, dan tetap ada usaha yang tinggi.
Deletele, salut banget sama kegigihan lu... dan hebat loh bisa ngelarin mata kuliah susah gitu dengan nilai B... gua sih orangnya ga terlalu perfeksionis banget, kecuali untuk hal2 tertentu kayak liburan contohnya, itu harus diplanning bener2... tapi kalo ga tercapai pun juga ya udah... gua mah santai orangnya hahahaha... untungnya sekarang diimbangin dengan seno yang orangnya lumayan perfeksionis...
ReplyDeleteItu nilai B yang gue kayaknya mati-matian kerjainnya hahaha. Makanya puasnya ngalahin dapet A di mata pelajaran lain. Kalau orang punya sifat perfeksionis ada bagusnya juga kok, asal jangan akut dan jadi drag people down. Misalnya kalau ngga sempurna jadi moody, dan nuntut orang juga harus sempurna. Walah, itu ribet deh.
Deletemungkin yang bilang loe perfeksionis karena berpikir loe hidup enak.. hidup di luar negeri, mau apa ada, semua berjalan lancar, dsb...
ReplyDeletekalo gw bilang sich, tergantung kita aja sih menilai value hidup kita. kalo kita menilai value hidup kita tinggi, ya itulah yang terlihat oleh orang lain.
gw juga ga bisa nyetir lo...wkwkwk pernah belajar tapi takut buat coba di jalanan.. wkwkw
Fun, kalo perfeksonis itu secara general artinya semua well planned, detail, berusaha mati-matian demi mencapai kesempurnaan. Kalo yang lu tulis itu sih lebih ke "gambaran hidup sempurna" versi subjektif hehe. Jadi yang dikira orang, gue itu lebih ke arah merencanakan segala sesuatu dengan rinci dan berusaha sepenuhnya sampai mendapatkan apa yang diingikan. Jadi ngga ada hubungan dengan hidup di LN dan mendapatkan segala sesuatu dengan mudah.
DeleteBtw, value hidup yang lu maksud di situ apa ya? Gue agak bingung soalnya statement "menilai value hidup kita tinggi".
Ayo, lu coba aja latihan nyetir, asli loh akan sangat membantu mobilitas, terutama karena kita kan ngga selalu bisa bergantung sama suami atau orang lain kalau kita mau kemana-mana.
Buset lu, Le. Nilai B dibilang 'cuma'. Oh my! Bai de wei, g termasuk perfeksionis gak, yah? G memang demen berplanning-planning ria, tapi ya ga pusing-pusing amat, sih kalo kenyataan gak sesuai sama rencana. Tapi g suka setres sendiri kalo liat segala hal yang tidak pada tempatnya dan fungsinya. Misal pas ngliat meja kerja Oni yang isinya mainan lego, alat2 'make up' nya c, hand body lotion, sampe gunting kuku aja ada. Belum lagi dia suka nyimpen-nyimpenin barang 'barangkali suatu hari nanti butuh pake lagi' yang keknya belum tentu dipake juga sampe 10 tahun lagi. *malah curcol
ReplyDeleteLebih cocok dibilang OCD apa yah?
Hahaha, anak2 Indonesia di sekolah gue, walaaahhh nilainya kinclong2 Fel, rajin2 bener. Ini kelas jadi "cuma" B, soalnya usahanya udah lebih keras daripada kelas lebih gampang yang gue dapet A Fel hahaha. Mungkin lu ada OCD tapi gak sampai parah. Kalo si Oni kayaknya juga ada OCD tuh, gak bisa lepas barang, cuma ya emang beda-beda sih kadarnya. Itu nyokap gue juga sama kayak si Oni soalnya, susah banget lepasin barang. Ribet pas pindahan rumah, karena buat ngebuang sampe brantem-brantem dulu sama anak-anak.
DeleteKarena uda lama ngikutin postingan Cici, dan pernah juga baca2 beberapa postingan terdahulu, justru aku ngeliat Cici gak perfeksionis2 bgt Ci wkakaka.. Pandangan orang beda2 sih ya. Dulu aku juga OCD gak parah sih tp lumayan mengganggu kehidupan sehari2, itu sampe ke psikolog buat nyembuhin 'penyakit'-nya.. Berbulan2 dan untungnya uda mulai sembuh.
ReplyDeletePas baca tulisan ini jadi keinget lg ngerjain proyek kampus dan perjuangannya juga lumayan hehe, thanks for sharing, Ci Leony.
Makanya, kan perspektif itu semua dari yang lihat. Kalo sampe ke psikolog sih artinya kamu udah agak parah hehehe. Kalau belum parah gak usah sampe ke psikolog, apalagi butuh sampai berbulan-bulan buat healing. Anyway, gak ada yang healed 100 persen biasanya, harus bisa control diri sendiri banget-banget. Namanya pengalaman kuliah pasti ada masa-masa berjuangnya ya.
DeleteMbaaa aku mau temenan sama dirimu..kayaknya dirimu seru banget mirip2 akyuu, InsyaAlloh tahun depan ke Auckland buat sekolah disana sekalian bawa keluarga, semoga kita ada kesempatan ketemu ^^
ReplyDeleteHi Riena, mau ke sini juga? Boleh silakan nanti message saya lagi kalau sudah sampe sini. Btw, jangan kecewa kalau nanti ketemu aslinya ternyata gak seru hahahah.
DeleteSuka banget sama postingannya, membuka wawasan, dan bikin melihat lagi ke diri lebih dalam hehehe, makasih sharingnya Leony :)
ReplyDeleteBareng-bareng ikutan refleksi juga ya, Rin. Sama-sama.
DeleteIt's always process not perfection ya, le. :)
ReplyDeleteIya, plus harus punya aim juga. Jangan gampang nyerah.
Deletebacanya ikut ngos2an, dan ikut ngerasa deg2an pas di kelas Filosofi 341 itu. Ikutan lega juga pas baca mbak berhasil lulus dengan nilai B yg penuh perjuangan. Salam kenal ya mbak :)
ReplyDeletePenuh perjuangan, soalnya kalau berani ambil risiko, berarti berani pula untuk bertanggung jawab kan ya, Imelda. Salam kenal :)
DeleteHai Ci Le!
ReplyDeleteCeritanya tentang si mama mengingatkan aku sama mamaku sendiri waktu ngajarin aku nyetir. Waktu aku belok melewati portal, doi teriak-teriak "PANTAT MAMA KENA PORTAL NAAAKK!!!" Which is saat itu kan di dalam mobil ya, begimana ceritanya pantatnya kena portal? Hahahahahaha.
Si mama juga perfectionist abis masalah kebersihan, ngomel sana-sini itu sudah biasa. Tapi yang aku bingung, anak-anaknya kok g ada yang mirip perfectionistnya sama dia ya?
Kalau aku ga perfectionist sih ci, tapi kadang ngeliat suami yang cincainya ampun-ampunan itu gemes juga, berakhir suka ngomel-ngomel ke suami #istridurhaka #tapitetapcintasuami #suamiharussabar #untungcincay
Hahahah, mungkin yang dia maksud polisi tidur kali, gara-gara mobilnya lompat, dianya ikut lompat, terus kaget. Hihihihi. Biasanya kalau punya ibu terlalu perfeksionis dan demanding, anak-anaknya malah berusaha supaya nggak terlalu kayak mamanya deh hihihi. Yang ada mamanya tambah frustradi yak hihihi. Ya harus kombinasi, cincai keterlaluan juga gak bagus, yang sedang-sedang saja (kata si Alam adiknya Vety Vera... yah ngedangdut deh).
DeleteCi, postingan yg bagus banget. Ini juga sekaligus menyadarkan aq klo hidup harus Ballance hehehehehe. Jgn terlalu strict mau hasil yg sempurna tapi jgn juga terlalu cincai, malah klo qtanya biasa2 ja namun berusaha dengan fokus terkadang hasilnya malah melebihi ekspektasi.
ReplyDeleteJadi inget waktu zaman kuliah, aq ga mikir dapet A atau B atau C, tapi fokus ja belajar, quiz, ngerjain tugas2 eh tau2 dapat IPK yg lumayan hehehehehehe.
Salut sama cici yg gigih wkt ikut kelas philosophy, dari F ke B itu jauh banget Ci. Ibaratnya lompat jauh :-) keren loh Ci ^_^ aq klo jadi cici happy nya bisa lebih happy dibanding dapet A yg didapat dengan mudah hahahahaha, soalnya dibalik itu ada perjuangan yg berbuah manis.
Bagus itu artinya, Na, kalau sudah bisa "ngeh" untuk menjaga diri kita supaya tetap balance. Memang ada rasa senang juga kalau kita ada perjuangan lebih walaupun hasilnya tidak sempurna, buktinya jadi bisa diceritakan di sini ya. Soalnya sungguh sangat berkesan.
Delete