Kisah Anak TK Pindah Negara
Orang bilang, kalau sekeluarga pindah negara, anak balita itu gampang banget penyesuaiannya. Waktu saya pindah ke sini, saya juga mikir hal yang sama. Itulah kenapa kita nekad pindah saat usia Abby 3 tahunan. Tapi apakah benar segalanya itu mudah? Tentulah banyak hal berkecamuk di dalam pikiran saya. Bagaimana dengan sekolahnya, pergaulannya, bagaimana dengan memori indah yang selama ini dia bangun saat masih tinggal di kota kelahirannya, Jakarta? Tulisan kali ini, sekedar untuk kenangan, bahwa yang namanya pindahan antar negara untuk seorang anak kecil itu, semudah-mudahnya, selancar-lancarnya, pasti tetap ada yang namanya jatuh bangun (barengan dengan orang tuanya).
Cerita sedikit dulu ya soal kegiatan Abby di Jakarta sebelum kita pindah. Sejak Abby usia 2.5 tahun, Abby sudah memulai sekolahnya. Waktu saya daftarkan Abby ke sebuah sekolah Katolik, kira-kira di bulan Maret 2015 untuk tahun ajaran 2015/2016, saya tau kalau sekiranya nanti kami ternyata berhasil memperoleh permanent residency dari Selandia Baru (yang saat itu belum kami terima), kami harus siap untuk merelakan uang pangkal dan masa belajar yang singkat. Untuk Abby yang saat itu masuk setingkat Kelompok Bermain Kecil (KBK), sekolahnya dimulai bulan September 2015. Di bulan Agustus 2015, kami menerima kabar gembira mengenai status visa kami, dan saat itu kami memutuskan untuk berangkat di bulan Februari 2016. Berarti, Abby hanya akan bersekolah sekitar 5 bulan di Jakarta, sampai tanggal 31 Januari 2016. Sekolahnya sendiri berlangsung seminggu tiga kali, setiap Senin, Rabu, dan Jumat, selama 2 jam saja per harinya. Namanya juga kelompok bermain ya, jadi isinya ya berdoa, bermain, bernyanyi, makan bersama, lalu pulang.
Hari pertama sekolah di Jakarta, September 2015. Pagi-pagi sudah bangun dengan semangat! Maklum masuknya juga pagi pukul 7.30 |
Saya masih ingat saat Abby pertama masuk di sekolahnya itu. Saat anak-anak lain menangis tersedu-sedu karena terpisah dari orang tuanya, Abby adalah satu-satunya anak yang tidak menangis, malah langsung naik prosotan sendiri, sampai disebut khusus oleh gurunya saat pertemuan orang tua murid seluruh TK. Abby selalu gembira dan semangat sekali ke sekolah, pokoknya terkenal berani dan nggak bisa diam dan kata gurunya "nggemesi". Kelasnya sendiri sangat kecil, jumlah murid bisa dihitung jari dan dipegang langsung oleh dua guru. Pokoknya guru-guru di sini sangat penuh atensi terhadap murid-muridnya. Selama di sini juga Abby sudah diaper free. Saya suka bawakan celana ganti dan sandal, tetapi rata-rata dia pulang masih dengan baju yang dipakai pagi harinya. Walaupun cuma beberapa bulan di sekolah, Abby sempat loh merayakan ulang tahunnya di kelas. Saya masih ingat, gurunya tulis namanya: EBI. Jadi tulisan backgroundnya itu: "Happy Birthday, EBI". Bener "ramalan" opa-nya kalau anak saya di Indonesia bakalan jadi sejenis menu hokben (ebi furai), atau lebih sedihnya lagi jadi udang kering.
Ulang tahun di sekolah, tuh kan saya nggak bohong, tulisannya EBI! |
Hari terakhir Abby bersekolah, saya mampir untuk membagi kenangan dan kue-kue ke guru-guru dan kepala sekolah. 30 menit terakhir sebelum Abby bubar, saya ikutan ke kelas, foto-foto, dan di situlah salah satu guru Abby nangis sampai berurai air mata. Abby dipelukin terus-terusan, serasa nggak bakalan ketemu lagi. Dia juga kasih Abby hadiah sebuah rosario dan kartu bikinan tangan berbentuk hati. Saya aja sampai nahan-nahan supaya nggak nangis. Intinya, pengalaman 5 bulan bersekolah itu berkesannya bukan main, dan yang jelas bikin Abby tambah "gaul" dengan anak seusianya. Ngga pernah ada drama, pokoknya I was a very proud parent deh!
Hari terakhir sekolah, Januari 2016, ngendon dulu di kantor Suster Kepala Sekolah, sambil nungguin mamanya ngobrol-ngobrol sama guru-guru. |
Begitu pindah ke sini, kita tentunya langsung mau daftarkan Abby untuk sekolah lagi. Sistem sekolah di sini menarik, anak tidak wajib masuk ke TK (Kindergarten alias Kindy, mulai dari usia 3-5), bisa juga masuk ke day care (mulai dari usia anak 6 bulan sampai 5 tahun), atau ke Early Learning Center (ECE) yang bervariasi (ada yang merangkap day care, ada juga ECE saja). Di usia 5 tahun, anak otomatis akan pindah ke Primary School. Waktu nanya-nanya teman di sini, rata-rata mereka masukkan anaknya di ECE/ day care karena hampir nggak ada liburnya, jadi nggak khawatir mikirin kegiatan anak pas liburan, plus ortunya bisa dua-duanya kerja dengan tenang. Day care/ ECE di sini rata-rata buka dari pukul 7.30 pagi sampai pukul 17.30, plus minus 1 jam deh, tergantung tipenya. Ada yang bilang, karena nggak ada liburnya plus jamnya lebih panjang, anak-anak jadi lebih cepat adaptasi.
Saat kita nanya teman kita di sini, kenapa dia nggak masukin anaknya ke sekolah Katolik, dia bilang karena selain lokasinya lebih jauh, sekolah Katolik banyak liburnya, ngikutin libur anak sekolah umum di Selandia Baru. FYI, di sini itu setiap 3 bulanan ada term break selama 2 minggu, plus kalau di musim panas libur panjangnya sebulan lebih. Kata dia, kalau libur, ortu suka mati gaya, plus rugi waktu karena anaknya jadi banyak break dan nggak cepat belajar. Karena pertimbangan itu, kita jadi galau, padahal kita tuh kepingin banget anak kita lanjut pendidikan secara Katolik.
Jadi di minggu kedua kita di sini, kita nyoba pergi ke ECE yang teman rekomendasikan karena anaknya sekolah di situ. Begitu sampai di sana, awalnya Abby senang lihat banyak mainan, mulai sibuk sendiri. Saya sendiri bicara dengan admin mengenai ketentuannya, dan saya rencana masukkan Abby selama 4 jam per hari mulai Senin sampai Jumat. Tapi baru 10 menit saya ngobrol, Abby minta keluar dari situ. Saya agak paham kenapa dia nggak betah, anak-anaknya campur aduk mulai dari bayi sampai umur hampir 5 tahun. Mainannya berantakan, dan saya melihat guru-gurunya mukanya agak lelah walaupun mereka berusaha untuk tersenyum dan ramah (ini ciri khas orang sini banget, ramah!). Keluar dari situ, kita langsung tau, Abby harus masuk ke sekolah yang hampir mirip dengan sekolah lamanya, yaitu sekolah Katolik yang umumnya lebih terstruktur.
Di minggu yang sama, saya langsung janjian dengan admin untuk ke sekolah Katolik di dekat rumah. Yang saya bilang dekat ini nggak dekat banget loh ya, sekitar 6 km gitu deh. Kalau di Jakarta sih mayan mandek, kalau di sini not too bad kok. Kalau orang sini bilang, jarak 6 km untuk ke sekolah Kindy itu lumayan jauh soalnya ECE yang within walking distance dari rumah kita banyak. Tapi namanya demi pendidikan anak, belain deh. Kindy Katolik ini lokasinya benar-benar sebelahan dengan gereja di paroki kami. Gedungnya sederhana sekali. Pas kita sampai di sana, nggak tau kenapa, hati kok rasanya langsung jatuh cinta. Walaupun mungil-mungil, ada ruang makan sendiri, ruang main utama sendiri, ada library kecil, ada ruang musik, ruang art and craft, ruang pertukangan, mainannya juga rapi banget disusun di rak, ada mainan outdoor dan rerumputan, sand pit yang sangat terawat, dan anak-anak semua dibiasakan tidy up sebelum sekolah usai. Abby sendiri pas sampai situ langsung ditanya mau ikutan kegiatan apa, anaknya langsung tertarik melukis. Gurunya langsung kasih celemek dan kuas, plus taruh kertas baru di papan. Habis melukis, anaknya lanjut main puzzle, sementara mama dengan mantab mengurus admin untuk Abby mulai sekolah di sini di minggu depannya.
Di Kindy-nya Abby, kalau mau full time, sekolahnya mulai pukul 09.00 sampai pukul 15.00 alias 6 jam dari Senin sampai Jumat. Anak di sini banyak yang mengambil opsi full time tersebut, rata-rata karena ortunya bekerja, sehingga makin panjang jam sekolah anak, makin baik untuk ortunya. Tetapi tentunya saya tidak tega, dan sekolah juga lebih menyarankan saya ambil part time. Jadi Abby sekolah 3 hari @ 2.5 jam, dan 2 hari @ 4.5 jam. Ini saja saya sudah merasa cukup banyak dibandingkan di TK lamanya di Jakarta yang cuma 3 hari @ 2 jam. Waktu masuknya juga tidak boleh seenaknya, karena di sini daftar jam dan absensi harus disetor ke pemerintah, jadi nggak boleh sembarangan apalagi sering absen, bisa dapat teguran. Untuk hari yang jamnya singkat, anak-anak diwajibkan bawa snack plus minum, untuk hari yang jamnya panjang, anak-anak diwajibkan bawa snack, makan siang, plus minum. Setiap hari anak-anak juga wajib membawa baju ganti dan topi. Topi ini digunakan saat matahari terik. Pokoknya kalau nggak bawa topi, gurunya gak kasih main outdoor. Setiap sebelum sekolah anak-anak juga diwajibkan pakai sunblock.
Senin depannya, hari pertama sekolah. Saya masih ingat tanggalnya, 29 Februari 2016. Tentu tidak akan lupa karena tanggal tersebut hanya kejadian 4 tahun sekali kan? Hihihi. Saya dan papanya melepas Abby dengan tenang, karena kami pikir dia sudah sreg dan happy saat minggu lalu kita daftar. Pas kita jemput sepulang sekolah, celananya sudah ganti, lantaran mengompol, dan gurunya cerita, kalau anaknya nangis terus. Jadi untuk besoknya, saya diminta oleh gurunya untuk temani Abby selama di sekolah. Saya melihat Abby di sekolah seperti bukan Abby yang biasanya. Dia sama sekali tidak mau lepas dari saya, bahkan saya harus duduk di sebelahnya terus-terusan. Anak-anak di sini sangat ramah dan ajak dia main, tetapi semua ditepis. Pernah ada masa dia tidak mau disentuh oleh temannya. Kalau disentuh langsung nangis kejar kayak habis digebukin. Setiap masa transisi perpindahan dari ruangan satu dari ruangan lain, dia sering menangis dan ujung2nya kalau stress menangis, dia ngompol. Dia juga takut ke kamar mandi, dengan alasan klosetnya warna coklat (dari kayu), bukan putih.
Hari pertama sekolah di Auckland, Februari 2016. Semangat banget kan? Sampai kasih jempol segala. Tapi ternyata di sekolah anaknya stress. |
Pas saya temani dia itu, saya jadi tau situasi di sekolahnya yang ternyata sangat berbeda dengan sekolah lamanya. Sekolah di sini, walaupun sekolah Katolik, muridnya banyak sekali, kalau tidak salah total sekitar 50 orang kalau semua anak masuk (karena ada yang part time juga seperti Abby dan jamnya beda-beda). Jauh sekali lebih banyak dibandingkan sekolah di Jakarta yang lebih lengang. Total guru sekitar 7-8 orang, dan mereka lebih ke arah memantau, kecuali pas sedang ada kelas kecil. Konsepnya lebih ke arah free play. Biasa anak-anak pagi-pagi berkumpul dulu untuk story time, lalu ada free play, lalu bisa ada kelas musik, atau kelas olah raga (dikelompokkan 3 dan 4 tahun), atau prayer time, lalu free play lagi, snack time, lalu kumpul lagi story time, pokoknya modelnya seperti itu, bukan yang terus-terusan diarahkan. Anak lebih dibebaskan untuk bersosialisasi sendiri dengan kawan-kawannya. Makan pun di ruang besar dengan bench nempel di dinding, lalu semua buka bekal dan makan sendiri, buang sampah sendiri di tempat yang disediakan, sementara pas di Jakarta, gurunya kadang masih bantu nyuapin atau lap-lap kalau blepotan. Ke wece pun mereka berbaris sendiri, lap sendiri, pakai celana sendiri, cuci tangan sendiri, lap tangan dan buang kertas. Intinya betul-betul dilatih mandiri.
Untuk anak 3 tahun yang tidak pernah sama sekali dititipkan di day care, tentu hal ini berat sekali. Teman-teman Abby banyak yang kecilnya sudah terbiasa di day care, jadi masuk kindy sama sekali tidak canggung. Saya jadi ngebayangin kalau saya jadi Abby. Tiba-tiba masuk di lingkungan baru, dengan wajah-wajah baru yang sangat banyak. Boro-boro mau hafal namanya, hafal mukanya saja mungkin belum tentu. Kendala bahasanya juga berat. Yang lain sudah cas cis cus berbahasa Inggris, Abby saya biasakan selalu memakai bahasa Indonesia. Nah, dalam hal ini, guru Abby sangat mendukung Abby berbahasa Indonesia di rumah. Bahkan gurunya wanti-wanti kalau Abby bisa berbahasa Indonesia, akan lebih mudah nanti mempelajari bahasa Inggrisnya. Saya ketar ketir juga loh, karena saya lihat bagaimana Abby berjuang untuk adaptasi di sekolah dengan berbagai kendala ini, dan pola bersekolah yang sungguh berbeda.
Selama lebih dari sebulan, Abby terus saya temani. Selama itu, setiap hari rasanya 90 persen pasti mengompol. Kadang mengompol dua kali sehingga baju ganti yang saya bawakan tidak cukup dan harus pinjam dari sekolah. Kondisi ini sempat membuat saya frustrasi, saya merasa pribadi Abby yang sesungguhnya seperti hilang. Anehnya, kalau pulang sekolah ditanya, apakah senang di sekolah, dia pasti jawab senang. Setiap pergi sekolah, semangat, tapi begitu sampai pintu gerbang, mengkeret dan nangis. Stress saya berlipat, karena selain Abby penyesuaiannya lama sekali, saat itu papa Abby juga belum dapat kerja. Setiap hari saya berdoa terus supaya Abby kembali jadi pribadi yang ramah, menyenangkan, dan berani, seperti Abby yang saya kenal. Saya juga capek loh tiap hari cucian jadi dobel karena bukan cuma ngompol di sekolah, terkadang suka ngompol juga di rumah, padahal lantainya karpet. Mana Abby yang sudah potty trained? Kenapa balik jadi suka ngompol?
Tapi memang guru-guru di sini luar biasa. Saya sungguh sampai nggak enak hati sama mereka, anak saya ngompol melulu, dan di sini kan yang bersihin lantai bukan janitor, tapi guru-guru. Anak saya sering nangis dan mengganggu kelas, tetapi tidak ada satupun dari mereka yang mukanya masam. Mereka malah terus menyemangati Abby dan terutama menyemangati saya. Setiap hari mereka cerita kalau Abby masih jauh lebih baik, pernah ada anak lain yang selama 6 bulan pertama setiap hari muntah (hihihi, gak kebayang bersihinnya gimana). Mereka terus menceritakan hal yang positif soal perkembangan Abby setiap hari dan sama sekali tidak membahas kekurangannya. Ada satu guru yang luar biasa perhatiannya pada Abby. I should thank her a lot. Tapi saya tidak bisa sebutkan namanya di sini, pokoknya ini guru benar-benar luar biasa deh. Padahal murid segitu banyak, tapi dia bisa memberikan perhatian khusus pada Abby, dan juga pada saya. Setiap hari dia ajak saya ngobrol, nanya soal kerjaan suami juga, lalu membahas strategi apa yang bisa diberlakukan supaya Abby akhirnya bisa mulai mandiri dan dilepas penuh. Gurunya ini bilang, Abby harus dibiasakan pattern yang sama, berulang, sampai akhirnya dia ngerti kalau di sekolah dia harus bisa sendiri.
Tahap pertama nih. Saya temenin Abby sampai story time selesai (kira-kira 10 menit), lalu temenin main sebentar, dan say goodbye ke anaknya. Di sini, sangat tidak dibolehkan meninggalkan anak diam-diam di sekolah. Jadi kalau ortunya mau ninggalin anaknya, mamanya harus bilang goodbye. Nah, dramanya itu, tiap kali saya say goodbye, anaknya pasti nangis bombay. Kadang saya nyerah, terpaksa nemenin lagi. Ngompol juga masih lumayan sering. Fase ini berlangsung sebentar saja karena dianggap kurang efektif. Masuk tahap kedua, dan kali ini agak-agak "melanggar" kesepakatan standar di sini tapi sesuai persetujuan gurunya, yaitu, pas anaknya sibuk main, saya akan diam-diam ninggalin anaknya. Berapa kali anaknya nggak sadar, dan berapa kali anaknya sadar kalau ditinggalin dan akhirnya nangis. Tapi kali ini saya harus tega. Awalnya nangisnya 10 menit, lama-lama berkurang, 5 menit, 3 menit, 1 menit, dan kalau hoki, nggak nangis sama sekali. Ngompol pun berkurang, walaupun masih suka kecolongan. Ini berlangsung kira-kira 2 mingguan. Setiap kali saya jemput, dia sudah gembira dan sudah mulai bisa bercerita tentang kejadian di sekolah. Strategi ketiga, setiap habis story time, mama langsung say goodbye, kiss, dan Abby langsung ditangkap oleh gurunya dan langsung dialihkan untuk free play time. Awalnya anaknya nangis, tapi mentok paling 1 menit, lama-lama paling cuma 10 detik, dan akhirnya tidak sama sekali, dan ngompol sudah berlalu. Tahap ini cuma berlangsung semingguan.
Setelah itu, keajaiban mulai terjadi. Abby malah suka ninggalin duluan di depan gerbang, bahkan sebelum mamanya say goodbye. Loh?! Mendadak mamanya kangen kepingin cium dulu sebelum anaknya ngibrit lari ke kelas. Bener-bener deh haru banget rasanya, setelah dua bulanan, akhirnya Abby balik ke Abby yang ceria, langsung duduk di kelas dengan manis. Kadang saya ngintip, eh anaknya udah lari aja ke deretan duduk paling belakang yang posisi tinggi. Padahal biasanya mojok di kiri bawah dengan muka sedih. Yang bangga bukan cuma saya dan papanya, guru-guru di situ juga bangga semua. Muka mereka tuh seperti menunjukkan rasa lega yang luar biasa. Tapi suatu hari, Abby narik saya ke kelas, ngotot minta temenin. Saya udah deg-degan, jangan sampai dia balik lagi ke kebiasaan lama gak bisa ditinggal. Akhirnya saya temenin dia story time. Di akhir story time itu, gurunya nanya, siapa yang bisa salam dalam bahasa Maori. Eh tau2 si Abby angkat tangan! Dipanggilah 3 anak yang angkat tangan, salah satunya Abby. Abby satu-satunya yang 3 tahun, yang lain sudah masuk usia 4, dan Abby juga satu-satunya yang bukan orang Selandia Baru. Ternyata, si Abby mengucapkan semuanya dengan lancar dan lantang, padahal panjang loh. Aduh, mamanya bangganya setengah mati, dan kalau nggak ada banyak orang di situ, mungkin saya sudah nangis bahagia. Abby yang tadinya disentuh anak lain nggak mau, sekarang sudah bisa angkat tangan, maju, dan mengikuti perintah. Kayak gini loh greetingnya:
Tēnā koutou, tēnā koutou, tēnā koutou katoa
Ko Abigail ahau
No Jakarta ahau
No reira
Tēnā koutou, tēnā koutou, tēnā koutou katoa
Jadi saya mikir, mungkin hari itu si Abby agak manja ke saya, soalnya dia mau nunjukkin kalau sekarang dia sudah berani dan bisa maju. Pokoknya Mama bangga setengah mati deh! Bahasa Inggris dia juga seperti berjalan dengan sendirinya. Walaupun masih campur aduk, yang penting adalah dia sekarang sudah bisa mengerti perintah, bisa bergaul dengan teman-temannya, bahkan punya best friends di sekolah. Seperti biasa, tiap kali saya jemput sekolah, mukanya sumringah tertawa lebar. Saya tanya. "Seneng nggak di sekolah?" Dia jawab, "Yeahhh!" (dengan aksen yang mulai bule...bikin emaknya bingung kok anak kecil nyerapnya cepet bener). Saya juga pasti "interogasi" sepanjang perjalanan. Main apa hari ini, main dengan siapa, sudah pipis belum di sekolah, dan lain-lainnya. Intinya tiap hari saya selalu pantau perkembangannya di sekolah via tanya jawab. Bahkan pernah dia cerita panjang lebar, kalau temannya cowok ada yang jatuh di sekolah, terus ada dokter datang, terus ada ambulans. Dia ceritanya detail banget sampai saya bertanya-tanya ini anak ngarang apa beneran kejadian. Besoknya saya tanyain gurunya, ternyata bener tuh! Syukurlah, anak saya nggak halusinasi artinya hahaha.
Sekarang, kalau sampai di sekolah, si Abby ini sudah kayak selebritis. Teman-temannya pada teriak-teriak manggil dia, "Abby... Abby...!" Mainnya juga bukan cuma sama anak perempuan, sama anak laki juga hayuk. Aktifnya minta ampun, dan gurunya semua bilang, kalau Abby ini orangnya sangat humoris dan hobi tertawa. Padahal, aduhhhh pas awal masuk sekolah, kerjaannya nangis melulu, kalau ditampung mungkin sudah seember kali. Lagu-lagu yang diajarkan di sekolah juga dilalap semua sama dia, walau kadang kata-katanya masih kurang tepat, tapi nadanya sudah benar. Ke wece, bukan lagi jadi halangan, malah makin pintar karena sudah bisa sobek gulungan tissue sendiri, lap sendiri, flush sendiri, cuci tangan dan keringin tangan sendiri. Beberapa kali saya jemput, dia masih pake kostum Snow White milik sekolah, dan kayaknya ini anak lumayan suka jadi princess walaupun kelakuannya lebih mirip prince. Anaknya juga suka banget bikin cerita role play pakai Lego Duplo, dan yang bikin saya dag dig dug, kalau lagi main sendiri dan role play, ngomongnya dalam Bahasa Inggris *tepok jidat*. Padahal saya sama sekali nggak biasakan pakai Bahasa Inggris di rumah. Jadi sekarang kalau dia nanya saya pakai bahasa Inggris, saya tetep jawab pakai Bahasa Indonesia. Nggak boleh lupa ya, Nak, sama bahasa ibumu.
Field trip ke Auckland Museum, Juni 2016. Waktu itu mamanya nyambi jadi chaperone untuk dua anak. Nggak pernah kebayang anak mama sekarang sukanya makan grilled cheese sandwich. |
Sama "partner in crime"nya waktu di museum. Siapa sangka Abby malah seneng banget ke museum, dan sudah minta diajakin lagi ke sana. |
Disco Night, July 2016, sudah siap loh pakai kalung segala sama beli glow stick yang emaknya bentuk gelang. Joged terus semaleman (sama emaknya). |
Matariki Day (Tahun baru Maori), Juli 2016. Anak-anak yang punya, boleh memakai baju daerah. Boleh dong sekali-kali anak mama pakai kebaya, biarpun winter, yang penting gaya. |
Inilah yang saya bilang kelakuannya lebih kayak prince daripada princess. |
Kenapa saya mau nulis masa-masa awal dia sekolah di sini, itu lebih kepada karena saya menolak lupa kalau dia pernah mengalami masa-masa sulit itu, dan juga saya ingin memberikan semangat kepada semua orang tua yang anaknya ingin pindah ke tempat baru, baik di luar kota, maupun luar negeri. Ada anak yang penyesuaiannya cepat sekali, tapi ada juga yang agak lambat seperti Abby, tapi pada akhirnya, kesabaran dan ketelatenan, serta pengaruh positif dari guru-guru, sangat membantu perkembangan anak di sekolah. Tidak terhingga deh terima kasih saya kepada guru-gurunya Abby yang sabarnya itu segede gunung. Guru TK di sini nggak sembarangan, sekolahnya khusus loh. Boleh dibilang Abby ini beruntung banget, dulu guru TKnya di Jakarta juga sama amazingnya karena sudah pengalaman puluhan tahun mengajar. Walaupun caranya berbeda antara di Jakarta dengan di Auckland, tapi saya sungguh menghargai usaha, kesabaran, dan hati yang besar dari para guru ini. Bukan cuma Abby yang mereka didik, tetapi juga saya. Saya sebagai orang tua juga dilatih, untuk lebih bersabar dan lebih mempunyai kepercayaan besar terhadap anak saya, kepercayaan kalau dia pasti bisa dan mampu untuk mandiri. Kerjasama antara guru dan orang tua sungguh sangat berarti di masa transisi ini, dan saya bersyukur, kalau saya pernah mengalami ini, dan banyak memetik pelajaran berharga.
PS: Jangan bingung sama semua foto di sini, sama sekali tidak ada foto wajah teman Abby, karena school policy di sini sangat ketat dalam hal media sosial, dan semua orang tua harus menandatangani kesepakatan tidak akan menyebarkan foto anak-anak lain ke sosial media kecuali anak sendiri. Foto hanya untuk koleksi pribadi. Makanya itu foto Abby sama temannya di Museum, saya pilih yang "misterius" hihihihi. Di Indonesia, walaupun tidak ada ketentuan khusus, saya akan tetap menjaga privasi dari masing-masing teman sekolahnya.
Ikutan lega akhirnya abby kembali kayak abby yg dulu ya.... 😃
ReplyDeleteLega banget, Man. Sekarang rasanya malah jauhhh banget berkembangnya.
DeleteThanks buat sharingnya, aku bisa ambil point : sabar, dibiasakan ritme nya, dan berulang. Itu syusah, dan harus extra sabar ke anak kecil. Kadang ortunya yang akhirnya kalah. Karena anak kecil untuk membiasakan ritme harus berulang gak cuma 2-3x kadang.
ReplyDeleteTapi happy juga akhirnya Abby bisa jadi happy girl lagi.
Btw, itu Kimmy juga ada option pake nama Abigail lo, cuma ditolak suami karena masalah udang kering itu tadi hehehe
Ulang-ulang sampe bosen, walaupun hampir putus asa, tetep ngga boleh nyerah. Biarpun berbulan-bulan, yang penting berbuah hehehe.
DeleteGpp nama Ebi, siapa tau rejekinya di bidang perudangan hahahaha.
Saya mbrebes mili bacanya..(berlinang air mata dikiiit) ikut bangga dan salut dengan perjuangn Abby, Leony dan guru2nya. You are all inspiring people.
ReplyDeleteMungkin bagi orang lain bukan hal yang besar tapi pengalaman ini yang aan membentuk pribadi Abby nanti saar dewasa.
Makanya saya bagikan di sini, buat nanti Abby juga baca di masa depan, gimana dia berjuang juga di sekolah sampai akhirnya bisa adaptasi.
DeleteCici Leony, Abby cantik sekali pakai kebaya merahnya. Lagi gelantungan pun ga hilang cantiknya. Semoga Cici sekeluarga selalu happy yaa di New Zealand sana 😊
ReplyDeleteCantik tapi tomboy ya. Gak apa-apa yang penting masih ada cantiknya ya, Dina hihi. Thanks, semoga kita semua selalu happy.
DeleteIkutan seneng pas baca akhirnya abby udah bs bersosialisasi di sekolahnya.. good job abby.. :)
ReplyDeleteabby makin cantik pake kebaya merah.. hihihi
Ngakak banget sm guru nya abby di jakarta yg nulis namanya jadi ebi.. lol. Wkwkwk.
"Yang baju merah jangan sampai lepas..." --> Warkop DKI hahahaha. Iya tuh, beneran Ebi nulisnya, padahal kan ada nama Abby di list gurunya. Tepok jidat hahaha.
DeleteSalam kenal, Leony! Suka baca blog Leony tapi belum pernah komentar, baru kali ini.
ReplyDeletePengalaman Abby persis sama kayak anakku, Joanna. 7 tahun lalu kita mulai tinggal di Jepang, baru balik tahun lalu setelah studiku selesai. Suami dan anak nemanin aku studi selama 6 tahun, kita hidup dari uang beasiswa dan sedikit kerja sampingan.
Joanna juga kita masukin daycare dekat tempat tinggal kita di Osaka dulu, pas umurnya 2 tahun 10 bulan. Asli nangis kejer tiap hari, di rumah marah-marah ga mau ke daycare, dipakein baju bagus, langsung dilepas lagi, ganti piyama lagi, sampai pernah aku bawa ke daycare pakai piyama dan minta gurunya di sana gantiin bajunya, saking dia berontak ga mau ganti baju.
Tiap hari rasanya miris banget lihat Joanna nangis terus, kalau ditinggalin, dia nangis kencang dan lari ngejar aku. Tiap antar Joanna rasanya galau banget, tapi kalau dia dikasih ga masuk daycare, takutnya makin lama dia terbiasa, akhirnya tiap pagi biar berat aku antar Joanna ke daycare.
Sama kayak di sekolah Abby, guru-guru di sekolah Joanna juga baik banget, semuanya support dan helpful, dan mereka bukan cuma care sama anaknya, tapi juga sama ortunya yang galau macam aku. Mereka terus membesarkan hati aku biar bawa Joanna terus ke daycare dan mau mempercayakan Joanna ke mereka. Sama banget, ada satu guru yang care banget sama Joanna dan jadi pendamping setia, jadi Joanna dan aku ngerasa secure sama beliau.
Di akhir bulan pertama, Joanna demam tinggi, tapi setelah demam itu, sedikit Demi sedikit keadaan membaik. Setelah tiga bulan, frekwensi nangis berkurang, dan setelah enam bulan, tahu-tahu bisa ngomong Bahasa Jepang. Ketika lulus daycare, Joanna happy banget dan sangat percaya diri, kuat dan punya banyak teman.
Sekarang kita udah kembali ke Indonesia, dan Joanna menyesuaikan diri lagi. Ga gampang, tapi dia bisa melaluinya. Sampai sekarang tetap bisa Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesianya sekarang sudah lancar. Perubahan emang ga nyaman untuk anak, tapi kalau mereka berhasil melewatinya, mereka akan jadi pribadi tangguh dan tahan banting, dan itu penting banget untuk bekal mereka menghadapi hidup.
Sukses untuk Abby dan Leony, pasti kalian akan sukses, I know it! Best wishes from Bogor!
Salam,
Rouli
Hi Rouli, seneng denger sharing dari kamu. Memang nggak mudah buat semua orang untuk pindah di tempat baru, apalagi untuk anak-anak (despite orang bilang akan lebih mudah, saya rasa sih ngga hehehe). PR banget buat kita melatih kesabaran dan konsistensi. Tapi kesabaran itu pasti berbuah ya. Joanna juga tumbuh hebat dan bisa dua bahasa sekaligus.
DeleteGuru istimewa itu pasti ada ya hehehe. Luar biasa sih gimana mereka bisa encourage ortunya juga supaya kita nggak menyerah. Sukses buat kamu juga sekeluarga.
Thanks for sharing this ci :) Wkt anak pertama saya mulai masuk public school TK jg ada bnyk hal2 yg butuh penyesuaian dan saya slalu remind diri sendiri juga bahwa anak saya perlu waktu, guru2nya jg perlu waktu, dan saya perlu waktu juga hahaa.. Ttp smangat ya Abby! Smkn menjd berkat dimana pun berada :)
ReplyDeleteDan percayalah, kalau anak kita mampu :) Amin, semoga kita semua bisa selalu jadi berkat untuk orang lain.
Deleteaaahh kebayang le loe stress2nya masa itu ya. Gw aja lagi dag dig dug nungguin nanti Selena naek kelas ke TK..sebelumnya kan playgroup. Mudah2an cepat beradaptasi. Takutnya ketemu orang baru lagi, jadi nangis lagi, karena temen2nya yang baru awal2 biasanya nangis.
ReplyDeleteWuaah bagus ya policynya.. kadang emang semua harus dijaga ketat ya apalagi zaman yang serba canggih gini.
Gw aja mo upload foto ama temen2 di fb, gw tanyain ke temen, bole ga upload? Eeeh diketawain..katanya mo upload mah upload aja.. hehe :)
Biasa sih Fun, anak-anak ada yang excited pas ketemu dunia baru, tapi ada juga yang jadi jiper. Si Abby mengalami dua2nya tuh, pas di Jkt excited ga ada nangis, di sini drama hehehe. Tapi worst case, badai pasti berlalu.
DeleteDi Indonesia mungkin belum "nyadar" soal bahayanya kalo sharing yang berlebihan. Tapi ya namanya jg learning process.
wiiiiii good job abby!!!! keep up the good work!!! yeah yeah yeah! go go go abby!!!!!! go go go mama leony!!!!!! langsung mikir apa gw ngelamar jadi guru di NZ aja ya hihihihi
ReplyDeleteHahaha, yuk ngelamar, tapi kayaknya sih kudu sekolah lagi dulu ambil sertifikasi yang di sini (negara sertifikasi banget di sini mah ampun dah hahahah).
DeleteGreat Job Ebi! Eh Abby! *ngeledek aje nih tantenyaaaa* hahahaha
ReplyDeleteIkutan terharu ci, awal2 pasti heartbreaking banget ya dia yang tadinya selalu ceria dan semangat sampe dipuji guru-guru di Jakarta eh tau2 kok jadi seperti itu di NZ :(
Syukurlah masa penyesuaiannya 'cuma' butuh 2 bulan ya ci, glad to see Abby back to her-old-self :D
Itu pas begaya di depan sepeda kirain udah berani buat ikutan karena kepancing naik sepeda dll, ternyata cuma berposenya doang ya huhuhu.
Abbbyyy hahaha bikin ngakak deh udah cakep2 pake kebaya eh gelantungan kayak mongkiii hahahahahaha
Gurunya aja gue relakan panggil Ebi, jadi ngga apa-apa kok Live lu panggil Ebi juga hahahaha. Lah kamu aja sedih, apalagi cici yang ngadepin di sini, ngelihat anak yang biasanya di sekolah oke banget, tau2 merana di sekolah baru.
DeleteFoto boleh gaya, tapi genjotnya cuma 3 meter, sisanya didorong hahaha.
good job abby! gurunya sabar2 banget ya... kalo di sekolah gua mah, gurunya uda pada naik darah marah2in anaknya kalo nangis2 gitu...
ReplyDeletegua kadang pengen masukin jayden ke sekolah katolik... karena yang gua tau, sekolah katolik itu fun tapi ketat... cuma takut anaknya bingung... karena kalo minggu kan gerejanya kristen... tapi sekolah kristen yang gua tau ya gitu deh... uda kayak di militer hahahaha...
Gurunya sabar banget dan encouraging banget buat ortunya. Gue bilang sih ikutin kata hati lu sebagai orang tua ya Mel. Lu pingin anaklu grownya seperti apa. Dulu sekolah gue sih banyak banget temen yang Kristen, Budha, Hindu aja ada, dan Muslim. Gak masalah sama sekali.
DeleteGood Job Abby! iya. bukan cuma kita doank yah ci perlu penyesuaian. anak2 juga butuh. :)
ReplyDeleteAnak-anak butuh, dan ortunya juga super butuh memahami anaknya.
DeleteWah haru biru banget ya awal-awal di Sekolah baru.. Tapi akhirnya kembali menjadi Abby yang dulu.. Good Job Abby, good job mommy Abby, and good job guru2 Abby. :) Lega rasanya kalau Abby udah kembali normal sperti masih di Jakarta. Sehat terus ya ci buat sekeluarga.
ReplyDeleteAbby yang dulu sudah balik, plus extra kayaknya sekarang makin lincah heheheh. Udah kayak anak Kiwi banget deh, aktif bergerak.
DeleteAbby pinter ya...masa sulit udah dilewati ya abby,,,
ReplyDeleteIya Tante, sekarang Abby sudah happy!
DeleteAbby stress banget ya pasti, sampe nangis terus ngompol gitu. Tapi untungnya udah berlalu ya. Emang adaptasi itu gak gampang ya, kita yang udah gede gini aja masih susah adaptas ya.
ReplyDeleteGood Job, Abby, Mama Lele, dan guru-gurunya Abby!
Btw,
Iya loh, muka Abby itu jail banget. hihihi
Sedih banget dulu tiap stress, nangis, ngompol. Udah kayak predictable banget tiap hari harus ngucekin celana dia yang kena pipis, bahkan sampai sepatu dan kaos kaki basah. Untung deh sudah lewat.
DeleteJahil dan menggemaskan kan Abby? Hihihi.
stress banget berarti abby yah mba diawal2 sekolah, alhamdulillahnya udah berlalu yah masa2 berat buat abby.
ReplyDeleteSemangat terus Abby, anak yang kuat, tegar dan slalu membawa keceriaan :D
Kayaknya kebagian stress dari ortunya juga kali ya hahahaha. Amin, semua sudah lewat, yang penting sekarang menuju ke depan :)
DeleteHi Leony, salam kenal. Saya sekeluarga berencana untuk migrasi ke NZ juga. Jika tidak keberatan, boleh tanya2 lwt email pribadi? Email saya di deasy.halim@gmail.com
ReplyDeleteSudah saja japri ya, Deasy.
DeleteWaduuhhh bacanya sampai mrebes mili loh. Terharu banget. Saya emang ngefans sama Abby yang pecicilan hihihi. Cantik dan aktif banget. Seneng bacanya, akhirnya Abby balik jadi Abby yang ceria :)
ReplyDeleteHahaha, waduh, kecil2 ternyata Abby udah ada fansnya, kalah deh emaknya hihihi. Semoga Abby bisa ceria terus ya, Tante.
DeletePuji Tuhan semua bisa dilewati dengan baik ya Le. Good job Abby, good job mama & papa. Semoga Abby makin enjoy di sekolah barunya.
ReplyDeleteAmin, Ngel. Seneng sih so far liat anaknya sekarang, tiap sekolah pulang jg happy banget. Bahkan kemarin libur term 2 minggu, malah mau cepet2 balik ke sekolah lagi.
DeleteLucunya abby ya, moga selalu sehat n tetep gemesin :)
ReplyDeleteMakasih, Tante Nur.
Deletewuahh untung ya masa2 itu sudah berlalu. seneng denger abby sekarang sudah bisa adaptasi sama lingkungan baru. memang perubahan itu gak mudah ya, buat ortunya , juga buat anaknya. Tapi ntar jangan2 ketemu abby lagi udah cas cis cus kaya anak bule ya wkwkwkkw.
ReplyDeleteKapan kalian liburan ke indo nihh??
Hahaha, sekarang aja udah mulai cas cis cus, tapi di rumah gue paksa ngomong bahasa Indonesia pokoknya. Jangan sampe ilang deh tuh bahasa ibu. Liburan ke Indonya belum tau Teph. Soalnya suami kan juga baru mulai kerja, minimal setaun baru bisa cuti.
DeleteOh kenapa aku jadi berkaca-kaca bacanya ya Mbak.. rasanya salut bgt sama Abby yg bertahan dan beradaptasi di lingkungan baru. Mengingat masa adaptasi ga pernah mudah, misalnya pindah kerja. Apalagi pindah negara. Hiks..
ReplyDeleteSalut bgt sama guru2 disana yg luar biasa sabar..dan juga ortu Abby yg sabar..
Yup, kita harus belajar sabar dan percaya sama anak kita ya..ah, pokoknya Abby hebat.
Yang baca terharu, kalau emaknya di sini udah sampe urut dada krn pusing pas awal-awal hihihi. Makasih ya Pit, semoga nanti pas pindah SD juga lancarrrr...
DeleteAnak-anak memang selalu yang paling "kaget" kalo ada perubahan. Jangankan pindah negara, ganti nanny pun kadang bikin anak-anak ga nyaman sebenernya ya *pengalaman pribadi* Good job, Abby. Suka deh liat foto abby pake kebaya. So pretty. :)
ReplyDeleteGue ga ngalamin ganti nanny, tapi ganti dari punya nanny jadi ngga punya hahahah. Tapi gue yakin perubahan drastis apalagi pindah negara itu efeknya kemana-mana, termasuk ke anak. Intinya jangan nyerah aja deh kitanya. Berjuang terus. Abby pake kebaya merah cucok ya hihihi.
Deleteyeay!! Abby pinter! meski awal2nya susah tapi seiring waktu jadi lebih baik ya ci terlebih Abby uda balik ceria kayak pas skolah di Jakarta *ikutan bangga*
ReplyDeleteMalah lebih heboh dan lebih pinter sekarang daripada pas sekolah di Jakarta. Mungkin karena usianya udah nambah juga kali ya.
DeleteLucu ya namanya bisa jadi ebi, hehe.. Aby pinter ya bisa kasih salam panjang gt.. N pastinya seneng banget ngeliat nya udah bisa ceria lagi :)
ReplyDeleteSalut buat guru guru nya n juga buat u le, sabar itu subur ya hehehe
Salamnya itu diulang seminggu sekali di sekolah, jadi lama-lama hafal juga deh anak-anak hehe. Sabar itu subur, makmur, gembur!
Deletewahh sekelas banyak juga yaa muridnya..kayak gua sekolah jaman dulu, tapi enak temennya jadi banyak. kalo sekarang kan sekelas udah 20 orang aja kayaknya maksimal. semoga Abby sukses sekolah barunya ya...dari kecil udah pindah di negara orang pasti perlu adaptasi tingkat tinggi.
ReplyDeleteSistem dia bukan kelas yang anak duduk di meja dan kursi masing-masing kayak di Jakarta, Ci. Modelnya free play, jadi anak ngumpul banyak dalam satu ruangan itu cuma saat makan dan saat story time aja. Sisanya sih terpecah-pecah. Kayak kelas musik, olahraga, prayer time, dll, itu dibagi2 sesuai umur.
DeleteAbby syukurlah udah bs beradaptasi, bener2 sulit ya ternyata di awal2. Untung guru2nya semua sabar, dua jempol deh sama kesabaran plus suppprtnya.
ReplyDeleteSulitnya sih kita sudah expect, tapi nggak nyangka seekstrim itu, jadinya kaget juga sih hehehe.
Deleteseru banget baca cerita abby ini!
ReplyDeletegood job Abby! btw kamu pake kebaya pas winter ga kedinginan tub bi (ebi) hihihihi
Kebetulan suhunya hari itu kayaknya sekitar 17 C, jadinya masih bearable deh, terus mataharinya keluar, jadi lebih anget hahaha. (Kayaknya segitu kalau di Jakarta udah pada bergidik).
DeleteCi, abby yang pake kebaya bikin hati meleleh, cantik banget! Wajah dan gesturenya jauh banget kelihatan lebih gede dibandingkan dengan foto pertama kali masuk sekolah yang masih di Indonesia.
ReplyDeleteSemangat terus ya Ci.. Semoga Cici dan Abby makin betah dan nyaman disana.
Haha, gesturenya kayak mongki gitu loh, jadi keliatan anak umur 3 tahun banget ya. Semangat setiap hari nih :)
DeleteIkutan lega dan turut senang, Le. Ternyata memang bagaimanapun anak jg butuh waktu ya untuk adaptasi, thanks sharingnya Le. Semoga makin betah di sana yaaa
ReplyDeleteYang baca aja lega ya Lis, apalagi emaknya di sini... leganya pake BANGET! hahahah
DeleteSelamat yah By, akhirnya bisa seperti dulu lagi. Untung pake baju daerah kebaya modern, coba kalau pake baju yang repot2 nggak bisa deh sambil gelantungan hahaha
ReplyDeleteKaya gini emang perlu kesabaran dan konsistensi dari anak, orang tua dan guru *catatan buat diri sendiri yg udah patah semangat*
Pake kebaya modern, roknya kepanjangan, dilipet, terus melorot melulu dong, Tanteeee...
DeleteYuk, kita jangan patah semangat. Merdeka!
Jadi ECE ini merangkap penitipan anak yaaaa
ReplyDeleteAda ECE yang merangkap day care, ada juga yang nggak. Ada kualifikasinya dari pemerintah.
DeleteLega & Ikut seneng baca cerita soal Abby :D Abby rambutnya udah panjang makin cantik nih ;D Tapi pake kebaya tetep ya gelantungan :D hehehe
ReplyDeleteTomboynya nggak hilang, Ngel. Namanya juga anak-anak, apalagi anak sini, minta ampun aktifnya.
Deletecek blognya kak leony blm ada yg baru, pfffftttt
ReplyDeleteKenapa? Kesel nungguin? Hehehe. Kamu kan enak tinggal baca aja. Nulis itu nggak gampang loh. Cobain deh kamu nulis konsisten (tulisan yang dipikirin ya bukan ngasal) setahun aja coba konsisten (gak usah sampai 13 tahun kayak saya). Kalo berhasil, boleh deh minta buru2. Deal?
Deletega gitu sih, ga kesel. baca blog kakak itu bikin ketagihan hahaha. tiap ngantor pasti nyempetin buka blog nya kakak, siapa tau ada yg baru. makasih yaa tulisan yg baru udah ada
DeleteMendingan kamu install feedly, jadi kalo ada update dari blog saya bisa langsung tau. Daripada nungguin bolak balik ngecek :)
Deletesyukurlah Abby sudah kembali menjadi Abby yang ceria yaa, kebayang itu bukan cuma abby yang stress selama sekolah tapi pasti kamu juga jauh lebih stress, untunglah dapat support dari guru2 disana yaa.
ReplyDeleteabby hebat deh, sudah punya banyak teman, ceria terus yaa abby
dan itu cocok sekali pake baju warna merah, cantik :D
Iya, kita semua stress dan bingung karena Abby seperti bukan diri dia. Tapi sekarang semua sudah lewat, seneng rasanya.
DeleteWow mandiri banget ya anak2 umur 3 th d sono.. di sini juga masi kaya versi indo hehe.. good job, Abby!
ReplyDeleteGue aja kaget kok liat anak di sini umur 3 kok kayak udah gede banget hehehe. Singapore bukannya juga mandiri ya? Tapi Singapore suka agak kolot sih ya.
DeleteIya singapore suka agak kolot hehe mantab deh Abby :)
DeleteHahah.. Ebii (ikut2an gurunya) dah kece pake kebaya eh gelantungan..hihi..
ReplyDeleteLega banget bacanya happy ending yah perjuangan ut penyesuaiannya.. Good job Abby.. Good job Mama Leony!!.. Dan terima kasih sharingnya, jadi ikutan belajar. Dan pasti ngebantu ut Mamah2 yg lagi galau dgn perubahan anak pas masa peralihan.
Ahhh, Py, baru liat komenmu jadi telat balesnya. Iya bener leganya amit-amit deh, apalagi sekarang, anaknya udah heboh banget, seru banget, dan banyak temennya. Mama jadi legaaaa (tapi ya kadang capek kalo anaknya mulai berulah hahahaha).
Deleteabby hebaat! salut buat mama nya dan ibu guru disana, penuh dengan kesabaran tinggi.. dari cerita ini saya belajar bahwa anak2 itu sebenernya memang bisa di didik menjadi disiplin dan teratur..hanya butuh kesabaran dan kebiasaan agar dia bisa enjoy menikmati semua prosesnya
ReplyDeleteAnak-anak itu kayak kanvas murni. Walaupun memang pasti ada faktor genetic, tapi environment itu luar biasa impactnya terhadap tumbuh kembang anak. Jadi memang kebiasaan dari kecil sangat berpengaruh untuk upbringing ke depannya.
DeleteHaii Cc Leony..saya rencana mau lanjut studi ke NZ,sekaligus pengen memboyong kedua anak saya yg akan masuk SMP & SMA...boleh nanya2 ngga tentang sekolah sama CC Leony... japri yah ke email saya : oktivan.kuera@yahoo.com..makasih sebelumnya.
ReplyDeleteSudah saya japri ya.
Delete