Wejangan si Bos Part 2
Menyambung tulisan minggu lalu soal wejangan si bos, kali ini kita lanjutkan ke bagian keduanya yang terdiri dari point 3 dan point 4. Jangan bosen ya bacanya, bagus deh *promo*.
3. Marriage as a TRAIL TO HOLINESS
Kalau bahasa Indonesianya: perkawinan sebagai jalan menuju kekudusan. Untuk apa kita menikah kalau menikah tidak lebih baik dibandingkan dengan waktu kita single? Mari kita lihat ayat kitab suci di bawah ini, dari 1Korintus 7:1-2.
7:1 "Dan sekarang tentang hal-hal yang kamu tuliskan kepadaku. Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin ," 7:2 "tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri."
Ayat yang kedua itu, seringkali dipakai oleh beberapa pemuka agama yang memberikan kesan kalau orang-orang tidak menikah itu merupakan kesalahan, kemudian menjelek-jelekan pemuka agama lain yang memilih untuk selibat. Dan curangnya mereka adalah, mereka hanya melihat di ayat kedua dan tidak menyentuh ayat pertama yang mengatakan, adalah BAIK bagi laki-laki kalau ia tidak kawin. Kalau kita bisa mengontrol bahaya pencabulan itu, BAIK juga untuk tidak menikah. Tapi kalau menikah cuma untuk supaya tidak berbuat cabul, itu juga SALAH besar, karena sesungguhnya, orang menikah itu adalah untuk menjadikan dirinya lebih baik, dan menyempurnakan hidupnya menuju kekudusan.
Kalau kita menikah hanya untuk setiap hari ribut besar, saling menyalahkan, dan dibumbui selingkuh, apa gunanya kita menikah? Bukankah menikah itu adalah cara untuk saling mengingatkan dan mengaplikasikan mengenai cinta kasih Allah kepada kita semua, dan pada akhirnya, keluarga yang baik dan mengamalkan cinta kasih tersebut akan menuju akhir yang baik yaitu Surga? Tujuan hidup kita adalah mati masuk Surga, dan saat kita MEMILIH dan MEMUTUSKAN untuk menikah, jadikanlah pernikahan itu jalan menuju ke sana.
Ada tiga hal sederhana yang bisa diaplikasikan di dalam kehidupan rumah tangga, yang seringkali terlupakan dan pada akhirnya membuat rumah tangga menjadi hambar. Mungkin tiga hal sederhana ini yang anda butuhkan untuk membuat jalan menuju kekudusan itu semakin terbuka.
Pertama, jangan pelit meminta maaf dan memaafkan. Yang namanya manusia, pasti kita tidak pernah luput dari kesalahan. Begitupun dalam hidup berumah tangga, pasti ada saja hal-hal yang kurang berkenan untuk pasangan masing-masing maupun untuk anggota keluarga yang lain. Kesalahan-kesalahan kecil yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara meminta maaf, lantaran gengsi malah jadi masalah besar, ditumpuk berlarut-larut, dan akhirnya malah pecah di saat tak terduga. Gengsi memberi maaf juga bisa jadi masalah. Ya kecuali tentunya kesalahan pasangan anda sudah luar biasa, terus dikit-dikit minta maaf, ya itu juga tidak baik *misalnya, habis selingkuh terus minta maaf merengek-rengek, tapi besoknya melakukan lagi, lempar sandal aja hahaha*. Tapi yang sering terjadi adalah, cuma karena kesalahan yang sebenarnya bisa dimaafkan, karena emosi yang menggelora, pasangan sudah minta maaf dengan tulus, tapi kitanya malas memaafkan. Yang terjadi selanjutnya, yang meminta maaf ini merasa kurang dihargai ketulusannya, pada akhirnya dia merasa tidak perlu lagi meminta maaf. Capek deh, dan malah berlarut-larut lagi. Jadi intinya jangan pelit untuk mengakui kesalahan, dan jangan pelit untuk memaafkannya.
Kedua, jangan lupa ucapkan terima kasih. Gara-gara kebiasaan sehari-hari, lama-lama pasangan ini merasa melayani satu sama lain merupakan kewajiban. Tiap hari istri bikinin kopi, bikinin kue, masak makan malam, nyuci, ngepel, nyapu, beres-beres rumah, sudah jadi terasa wajib gara-gara suaminya kerja di kantor nyari uang. Istri juga gitu, sudah terasa kewajiban untuk suaminya kasih uang bulanan, ngurusin hal-hal yang berhubungan sama bengkel, dan kerjaan laki-laki lainnya. Nah, coba bayangkan, kalau kita bisa mengucapkan terima kasih pada pasangan kita, aduh indahnya. "Makasih ya Ma, kopi dan kuenya enak." Wuih...pasti sang istri langsung semangat lagi buat bikin kue-kue enak. "Makasih ya Pa, udah anterin si Adek ke sekolah hari ini." Yang tadinya si suami malas, sekarang jadi semangat antar anak ke sekolah. Yah, itu hanyalah contoh-contoh kecil yang bisa membuat orang merasa diapresiasi, dan siapa sih yang tidak senang di apresiasi?
Ketiga, jangan sungkan bilang I love you. Pas sakramen pernikahan teman SMU saya, saat homili, romonya minta ke pengantin pria untuk mengucapkan I love you yang keras ke calon istrinya. Si pengantin pria malu berat...bingung... namun karena si romo yang minta, mau nggak mau dia melaksanakan. Dan dia ngomong pelan, "Laura, I love you...." Pelaaannnn banget... Romonya lantas nanya ke umat, "Sudah kedengeran belum?" Umat menjawab, "Belummmm." Sampai di ulang yang kedua kali... masih belum mantab juga. Akhirnya pas disuruh ketiga kali, baru deh si mempelai teriak, "LAURA.... I LOVE YOUUUUU!" Tepuk tanganpun bergemuruh di gereja, dicampur dengan tertawa bahagia. Si Romo mengingatkan, kalau sudah menikahpun, jangan pelit-pelit bilang I love you. Seringnya, begitu sudah nikah, anak-anak sudah bikin repot, jadi malas bilang I love you, padahal penting loh, untuk membangkitkan romantisme masa pacaran dulu hehehe. Asal, jangan ngumbar-ngumbar I love you di mana-mana yah... biar bagaimanapun, harus tetap diucapkan dari lubuk hati yang paling dalam. Ya, gak harus persis bilang I love you, tapi bisa juga bilang, "Ma, Papa sayangggg banget deh sama Mama..." Dijamin, mukanya si mama langsung memerah kesengsem. Hihihi...
4. Marriage with God as the Focus
Bos saya memberikan perumpamaan. Saat itu dia minta saya untuk mengarahkan pandangan saya ke wajahnya. Kemudian dia mengambil sebuah map, dan meletakan map itu di depan wajahnya, dengan jarak kira-kira setengah meter. Dia tanya pada saya, apakah saya masih bisa melihat wajahnya. Saya bilang, saya tidak bisa melihat wajahnya. Dia kembali bertanya kepada saya, apa yang harus saya lakukan supaya saya bisa melihat wajahnya. Dan saja menjawab, saya ganti saja posisi duduk saya jadi ke kanan atau ke kiri, atau mungkin saya berdiri sehingga saya bisa melihat wajahnya dari atas. Beliau menjawab, "Tepat sekali!"
Anggaplah wajah bos saya itu adalah tujuan perkawinan yaitu Tuhan, dan map yang menutupi wajahnya itu adalah halangan dan rintangan menuju ke sana. Seringkali, jika kita mengalami masalah, yang kita lakukan adalah mencoba untuk menerobos atau menghancurkan rintangan itu. Kita berusaha dengan segala cara sampai melibatkan kekerasan mental dan fisik sehingga menyebabkan perkawinan kita goyah. Padahal yang perlu kita lakukan sebenarnya adalah mencari jalan berbeda, mengubah cara pandang kita, dan melihat dari sisi yang lain. Dalam perkawinan kita sering mengeluh, kita sering berkeras hati, kita sering merasa kalau kita sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan yang bahagia. Tetapi kadang kita lupa bersyukur, dan melihat kalau Tuhan punya rencana yang indah, tinggal bagaimana kita menyikapinya.
Kata pak Bos saya, poin nomor 4 ini adalah INTI dari semua hal yang dia jabarkan sebelumnya. Begitu kita menjadikan Tuhan sebagai fokus perkawinan kita, maka poin-poin yang lain akan mengikuti.
Nah, selesailah sudah uraian panjang kali lebar saya. Semoga penjelasan yang tidak sempurna dari orang awam ini, kiranya bisa memberikan sedikit "pencerahan". Dan mohon maaf sebelumnya jika ada salah-salah kata, dan saya yakin juga pasti ada yang bilang dalam hati, "Sok tau lu, Non!". Hahahaha... terlepas dari semua itu, saya berharap semoga kebahagiaan selalu hadir di tengah keluarga kita semua, terutama menjelang hari Natal ini. AMIN.
3. Marriage as a TRAIL TO HOLINESS
Kalau bahasa Indonesianya: perkawinan sebagai jalan menuju kekudusan. Untuk apa kita menikah kalau menikah tidak lebih baik dibandingkan dengan waktu kita single? Mari kita lihat ayat kitab suci di bawah ini, dari 1Korintus 7:1-2.
7:1 "Dan sekarang tentang hal-hal yang kamu tuliskan kepadaku. Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin ," 7:2 "tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri."
Ayat yang kedua itu, seringkali dipakai oleh beberapa pemuka agama yang memberikan kesan kalau orang-orang tidak menikah itu merupakan kesalahan, kemudian menjelek-jelekan pemuka agama lain yang memilih untuk selibat. Dan curangnya mereka adalah, mereka hanya melihat di ayat kedua dan tidak menyentuh ayat pertama yang mengatakan, adalah BAIK bagi laki-laki kalau ia tidak kawin. Kalau kita bisa mengontrol bahaya pencabulan itu, BAIK juga untuk tidak menikah. Tapi kalau menikah cuma untuk supaya tidak berbuat cabul, itu juga SALAH besar, karena sesungguhnya, orang menikah itu adalah untuk menjadikan dirinya lebih baik, dan menyempurnakan hidupnya menuju kekudusan.
Kalau kita menikah hanya untuk setiap hari ribut besar, saling menyalahkan, dan dibumbui selingkuh, apa gunanya kita menikah? Bukankah menikah itu adalah cara untuk saling mengingatkan dan mengaplikasikan mengenai cinta kasih Allah kepada kita semua, dan pada akhirnya, keluarga yang baik dan mengamalkan cinta kasih tersebut akan menuju akhir yang baik yaitu Surga? Tujuan hidup kita adalah mati masuk Surga, dan saat kita MEMILIH dan MEMUTUSKAN untuk menikah, jadikanlah pernikahan itu jalan menuju ke sana.
Ada tiga hal sederhana yang bisa diaplikasikan di dalam kehidupan rumah tangga, yang seringkali terlupakan dan pada akhirnya membuat rumah tangga menjadi hambar. Mungkin tiga hal sederhana ini yang anda butuhkan untuk membuat jalan menuju kekudusan itu semakin terbuka.
Pertama, jangan pelit meminta maaf dan memaafkan. Yang namanya manusia, pasti kita tidak pernah luput dari kesalahan. Begitupun dalam hidup berumah tangga, pasti ada saja hal-hal yang kurang berkenan untuk pasangan masing-masing maupun untuk anggota keluarga yang lain. Kesalahan-kesalahan kecil yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara meminta maaf, lantaran gengsi malah jadi masalah besar, ditumpuk berlarut-larut, dan akhirnya malah pecah di saat tak terduga. Gengsi memberi maaf juga bisa jadi masalah. Ya kecuali tentunya kesalahan pasangan anda sudah luar biasa, terus dikit-dikit minta maaf, ya itu juga tidak baik *misalnya, habis selingkuh terus minta maaf merengek-rengek, tapi besoknya melakukan lagi, lempar sandal aja hahaha*. Tapi yang sering terjadi adalah, cuma karena kesalahan yang sebenarnya bisa dimaafkan, karena emosi yang menggelora, pasangan sudah minta maaf dengan tulus, tapi kitanya malas memaafkan. Yang terjadi selanjutnya, yang meminta maaf ini merasa kurang dihargai ketulusannya, pada akhirnya dia merasa tidak perlu lagi meminta maaf. Capek deh, dan malah berlarut-larut lagi. Jadi intinya jangan pelit untuk mengakui kesalahan, dan jangan pelit untuk memaafkannya.
Kedua, jangan lupa ucapkan terima kasih. Gara-gara kebiasaan sehari-hari, lama-lama pasangan ini merasa melayani satu sama lain merupakan kewajiban. Tiap hari istri bikinin kopi, bikinin kue, masak makan malam, nyuci, ngepel, nyapu, beres-beres rumah, sudah jadi terasa wajib gara-gara suaminya kerja di kantor nyari uang. Istri juga gitu, sudah terasa kewajiban untuk suaminya kasih uang bulanan, ngurusin hal-hal yang berhubungan sama bengkel, dan kerjaan laki-laki lainnya. Nah, coba bayangkan, kalau kita bisa mengucapkan terima kasih pada pasangan kita, aduh indahnya. "Makasih ya Ma, kopi dan kuenya enak." Wuih...pasti sang istri langsung semangat lagi buat bikin kue-kue enak. "Makasih ya Pa, udah anterin si Adek ke sekolah hari ini." Yang tadinya si suami malas, sekarang jadi semangat antar anak ke sekolah. Yah, itu hanyalah contoh-contoh kecil yang bisa membuat orang merasa diapresiasi, dan siapa sih yang tidak senang di apresiasi?
Ketiga, jangan sungkan bilang I love you. Pas sakramen pernikahan teman SMU saya, saat homili, romonya minta ke pengantin pria untuk mengucapkan I love you yang keras ke calon istrinya. Si pengantin pria malu berat...bingung... namun karena si romo yang minta, mau nggak mau dia melaksanakan. Dan dia ngomong pelan, "Laura, I love you...." Pelaaannnn banget... Romonya lantas nanya ke umat, "Sudah kedengeran belum?" Umat menjawab, "Belummmm." Sampai di ulang yang kedua kali... masih belum mantab juga. Akhirnya pas disuruh ketiga kali, baru deh si mempelai teriak, "LAURA.... I LOVE YOUUUUU!" Tepuk tanganpun bergemuruh di gereja, dicampur dengan tertawa bahagia. Si Romo mengingatkan, kalau sudah menikahpun, jangan pelit-pelit bilang I love you. Seringnya, begitu sudah nikah, anak-anak sudah bikin repot, jadi malas bilang I love you, padahal penting loh, untuk membangkitkan romantisme masa pacaran dulu hehehe. Asal, jangan ngumbar-ngumbar I love you di mana-mana yah... biar bagaimanapun, harus tetap diucapkan dari lubuk hati yang paling dalam. Ya, gak harus persis bilang I love you, tapi bisa juga bilang, "Ma, Papa sayangggg banget deh sama Mama..." Dijamin, mukanya si mama langsung memerah kesengsem. Hihihi...
4. Marriage with God as the Focus
Bos saya memberikan perumpamaan. Saat itu dia minta saya untuk mengarahkan pandangan saya ke wajahnya. Kemudian dia mengambil sebuah map, dan meletakan map itu di depan wajahnya, dengan jarak kira-kira setengah meter. Dia tanya pada saya, apakah saya masih bisa melihat wajahnya. Saya bilang, saya tidak bisa melihat wajahnya. Dia kembali bertanya kepada saya, apa yang harus saya lakukan supaya saya bisa melihat wajahnya. Dan saja menjawab, saya ganti saja posisi duduk saya jadi ke kanan atau ke kiri, atau mungkin saya berdiri sehingga saya bisa melihat wajahnya dari atas. Beliau menjawab, "Tepat sekali!"
Anggaplah wajah bos saya itu adalah tujuan perkawinan yaitu Tuhan, dan map yang menutupi wajahnya itu adalah halangan dan rintangan menuju ke sana. Seringkali, jika kita mengalami masalah, yang kita lakukan adalah mencoba untuk menerobos atau menghancurkan rintangan itu. Kita berusaha dengan segala cara sampai melibatkan kekerasan mental dan fisik sehingga menyebabkan perkawinan kita goyah. Padahal yang perlu kita lakukan sebenarnya adalah mencari jalan berbeda, mengubah cara pandang kita, dan melihat dari sisi yang lain. Dalam perkawinan kita sering mengeluh, kita sering berkeras hati, kita sering merasa kalau kita sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan yang bahagia. Tetapi kadang kita lupa bersyukur, dan melihat kalau Tuhan punya rencana yang indah, tinggal bagaimana kita menyikapinya.
Kata pak Bos saya, poin nomor 4 ini adalah INTI dari semua hal yang dia jabarkan sebelumnya. Begitu kita menjadikan Tuhan sebagai fokus perkawinan kita, maka poin-poin yang lain akan mengikuti.
Nah, selesailah sudah uraian panjang kali lebar saya. Semoga penjelasan yang tidak sempurna dari orang awam ini, kiranya bisa memberikan sedikit "pencerahan". Dan mohon maaf sebelumnya jika ada salah-salah kata, dan saya yakin juga pasti ada yang bilang dalam hati, "Sok tau lu, Non!". Hahahaha... terlepas dari semua itu, saya berharap semoga kebahagiaan selalu hadir di tengah keluarga kita semua, terutama menjelang hari Natal ini. AMIN.
Setujuuuu!!! :)
ReplyDelete@Arman: Setuju jugaaaa!! *menyetujui isi blog sendiri alias narsis hehehe*
ReplyDeleteyup.. menikahlah dengan tujuan untuk melayani Tuhan bersama-sama... :)
ReplyDeleteberkunjung balik ya... ;)
@Nicetobeoki: Sip de :D Saya masukkan juga blog kamu dalam reading list saya.
ReplyDeletepanjang banget ya lu dikasih wejangan ama si bos, berapa lama tuh lu di ruangannya :)
ReplyDelete@ Pucca: ngobrol-ngobrolnya 2 jam-an gitu deh. Sambil ketawa ketiwi hehehe.. Ya sebagian dr isi entry ini sih benernya tulisan pribadi gue juga, yang berdasar pada pedoman si bos :).
ReplyDeletehi leony salam kenal ya.
ReplyDeletegue bw dari blognya pucca.
a very nice share. :)
senang ya dapat bos yang bijak dan ga pelit share :)
i really enjoy your writing.
dari tadi ga kerja nih. baca tulisan lu satu2 hahaha
gue ijin link boleh?
@ Limmy: Iya, bersyukur banget punya bos yang baik, senang sharing, tapi tetep disiplin sih dalam bekerja.
ReplyDeleteTererengkiu yahhh... Boleh boleh, silakan dilink. Tar gue link balik...jadi kita saling kunjungan kenegaraan hihihih...
Nonnn...perkawinan itu menakutkan ya...huuuu
ReplyDelete@Erique: Pernikahan itu memang menakutkan, tetapi tentu lebih banyak menyenangkannya dong. Kalo ngga, NGAPAIN ORANG KAWIN ? hehehehe... Tanya aja deh sama Papi Mami, kenapa mereka kawin dan kenapa mereka bertahan sampai sekarang.
ReplyDelete