Project Menulis yang Tertunda
Di postingan saya yang kedua sebelum postingan ini, saya menulis kalau ada teman saya yang meminta saya membuat artikel soal "Bagaimana Hidup di Amerika Mengubah Diri Saya". Inilah hasilnya yang di muat di Soekma, Koran Permias Madison. Kalau mau lihat bentuk korannya seperti apa, bisa klik di sini. Ini dia isi artikelnya.
Bagaimana Hidup di Amerika Mengubah Diri Saya
Merangkum hidup saya selama di Amerika menjadi satu karangan, rasanya saya bisa menerbitkan satu novel sendiri. Tapi berhubung saya bukanlah penulis novel, dan saya cukup yakin novel saya tidak bakal laku, saya tulis saja sedikit cerita menarik yang mudah-mudahan bisa diambil hikmahnya. Saat saya beres-beres untuk pindahan, saya membuka album foto kenangan. Di album itu, saya masih menyimpan lembaran tiket kedatangan saya kali pertama ke Amerika. Tanggal 10 Januari 2001, hari itu kedua kaki saya menyentuh tanah Madison. Dingin segera menyeruak, apalagi saat itu saya hanya bermodalkan dua lembar pakaian di badan, dan jaket kulit hadiah dari paman saya. Memori saya mundur enam tahun ke belakang, saat saya, si Leony berambut bondol dengan kacamata besarnya, dengan modal bahasa inggris pas-pasan dan ijazah SMU, mencoba menarik sebanyak mungkin ilmu di kota kecil ini. Saya juga masih menyimpan kartu pelajar saya (yang hebatnya tidak pernah hilang sampai sekarang), di mana foto wajah saya saat itu galak dan kesal sekali karena saya tidak kebagian kelas-kelas yang saya mau. Maklumlah, seperti anak Indonesia pada umumnya, saya sudah membayangkan untuk mengambil kelas matematika, fisika, komputer, dan kelas kelas ilmu pasti lainnya. Tapi karena saya masuk di Semester Spring, hampir semua kelas yang saya mau penuh semua. Saya dan teman saya, Mira, mulai memikirkan alternatif yang bisa diambil untuk memenuhi kredit. Jadilah kita mengambil kelas menyanyi, dan kelas ballroom dancing. Saat itu pikiran kita adalah, yang penting nggak rugi! Kan 12-18 kredit bayarnya sama toh?
Tidak disangka, ternyata kelas menyanyi dan kelas dansa itulah yang menjadi kelas-kelas favorit saya, sehingga saya selalu mencoba menyelipkan kelas berbau seni tersebut di dalam setiap semester yang saya jalani. Ditambah lagi, saya mengambil kelas tari Jawa yang seumur-umur tidak pernah terbersit di dalam otak saya, dan juga saya mengambil kelas menggambar. Baru saat itu saya menyadari, betapa pentingnya kelas-kelas seperti itu untuk menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri saya. Percaya atau tidak, saya banyak membaur dengan teman sekelas saya, justru di kelas-kelas tersebut. Kemampuan komunikasi makin terasah, karena kita semua berusaha mengekspresikan diri melalui nyanyian, tarian, dan gambar, bukan hanya dari tulisan dan rumus-rumus. Kesempatan itu, mungkin tidak akan pernah saya dapatkan jika saya berada di Indonesia, di mana ilmu pasti adalah segala-galanya, dan anak anak dipaksa oleh orang tuanya untuk menjadi yang terbaik di bidang tersebut supaya bisa masuk kelas unggulan. Hikmah: Hidup di Amerika, membuat saya lebih bisa berekspresi.
Selama satu setengah tahun tinggal di asrama, hubungan saya dengan dua teman sekamar juga merupakan hal yang sangat menarik. Teman sekamar saya yang pertama, berasal dari keluarga yang rukun. Saat orang tuanya berkunjung, mereka berpelukan hangat, membuat saya jadi ikut rindu dengan keluarga di rumah. Orangnya sangat sederhana, walaupun saya tau kalau dia berasal dari keluarga yang cukup kaya. Berbeda sekali dengan teman sekamar saya di semester selanjutnya. Hobinya belanja dan minum, setiap akhir pekan tidak pernah pulang, sering sekali bergonta-ganti pasangan, dan secara tidak sopan membawa pasangannya itu pulang ke kamar kita, padahal saya besoknya akan ujian. Setiap bicara dengan ayahnya, isinya hanya minta uang. Dan jika tidak diberi, kata-kata kotor segera meluncur dari mulutnya, termasuk kata yang sering disensor. Yang terparah adalah, saat akhir semester, dia ingin saya keluar dan pindah dari kamar kami dengan alasan, temannya ada yang mau masuk. Padahal sayalah orang pertama yang tinggal di kamar itu. Saat itu, saya mulai memupuk keberanian, berusaha untuk putar otak dan melakukan perlawanan. Di Indonesia mungkin saya punya orang tua yang bisa saya jadikan tameng, tapi di sini, saya harus berusaha sendiri. Saya menghubungi housefellow alias ketua di lantai kami, dan saya jelaskan situasinya. Hasilnya? Teman sekamar saya itu dikeluarkan dari asrama. Sisa satu semester selanjutnya, saya jadi penguasa tunggal kamar itu, hehehe. Hikmah: Hidup di Amerika, membuat saya jadi lebih berani dalam mengambil keputusan sendiri.
Saat hidup kita jauh dari keluarga, kehangatan bisa diperoleh dari "keluarga" baru kita di Madison. Bertemu dengan sesama orang Indonesia, membuat kita merasa seperti mempunyai partner dalam berjuang. Kita pasti sering mendengar, bahwa teman-teman sejati adalah teman yang menemani saat suka maupun duka. Kalau saat suka, banyak sekali contohnya. Kalau saat duka ? Saya juga banyak contohnya. Saat saya sedang sakit panas di asrama, ada teman yang membawakan obat dan makanan. Saat ayah saya dipanggil Tuhan, ada teman yang mendoakan dan menghibur saya. Saat menjelang operasi, ada teman yang menunggu saya dari sebelum operasi sampai sadar kembali, dan menemani saya beberapa hari di apartemen. Saat saya sakit cacar air, ada teman yang ke supermarket, membelikan daftar belanjaan saya, dan meletakannya di depan pintu lantaran saya tidak boleh bertemu siapa-siapa. Saat saya putus cinta, ada hotline yang selalu bisa medengar keluh kesah saya. Hikmah: Hidup di Amerika, membuat saya lebih mengerti arti seorang teman.
Berada di salah satu kota dengan populasi Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) per kapita tertinggi di Amerika sempat membuat saya terbelalak. Kok bisa mereka dengan santainya meletakan iklan di mana-mana seandainya mereka ada pertemuan, atau bergandengan mesra di jalanan. Banyak teman-teman sekelas saya yang dengan gamblang mengakui kalau mereka adalah bagian dari kelompok LGBT. Perasaan kurang nyaman pernah juga hinggap di dalam diri saya jikalau saya bertemu dengan mereka, karena di Indonesia orang tidak pernah blak-blakan dalam hal pengakuan. Tapi ternyata, semakin saya mengenal mereka, semakin saya menghormati pilihan mereka. Bahkan beberapa di antara mereka adalah orang-orang dengan sifat terindah yang saya pernah temui. Saya banyak menarik pelajaran dari mereka tentang cara menghadapi hidup, mencoba menjadi kuat di bawah tekanan masyarakat. Hikmah: Hidup di Amerika, membuat saya makin menghargai perbedaan.
Terus terang, saya adalah orang yang sangat malas kalau diajak minum-minum. Padahal minum-minum itu adalah "budaya" orang Wisconsin. Buktinya University of Wisconsin -Madison itu adalah universitas pesta nomor satu dan Milwaukee adalah kota dengan tingkat pemabuk tertinggi se-Amerika. Alasan kemalasan saya adalah karena saya nggak tahan bau rokok, dan saya alergi dengan yang namanya alkohol. Setiap kali ada yang menawari saya minuman, saya selalu menolak dan memilih minum air atau soda. Pernah saat sedang training pekerjaan di Chicago, teman-teman saya tidak ada yang percaya kalau saya sungguh-sungguh alergi. Mereka memaksa saya untuk memesan cocktail ringan yang dicampur dengan jus buah-buahan. Akhirnya saya pesan juga minuman itu demi memenuhi keingintahuan teman-teman, dan akibatnya, baru sepertiga gelas, badan saya gatal-gatal dan bentol-bentol. Teman-teman semua akhirnya percaya, dan sejak saat itu, tidak ada lagi yang menawari saya minuman. Hikmah: Hidup di Amerika, membuat saya sadar, kalau saya SUNGGUH-SUNGGUH deh nggak bisa minum ! Hahahaha... Bercanda deh. Hikmahnya itu, hidup di Amerika membuat saya sadar, kalau saya harus jadi diri sendiri. Tidak boleh ikut-ikut arus.
Saat saya kerja sambilan di kampus, bos saya ada yang bertanya, "Hey Leony, apakah di depan rumah kamu masih suka lewat harimau?" Saya tertawa ngakak. Maklumlah, bagi orang Amerika yang tidak pernah kemana-mana sepanjang hidupnya, Indonesia itu terdengar seperti negara dunia ketiga, di mana semua masih diselimuti hutan, dan tidak ada peradaban. Begitu saya memperlihatkan gambar gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, dia baru sadar, kalau masih ada "dunia lain" di luar Amerika. Salah satu cara untuk saya memperkenalkan Indonesia selain tentunya lewat cerita dan gambar-gambar adalah lewat makanan. Tiga kali saya membantu Permias mencari dana lewat memasak makanan Indonesia. Bagi saya, makanan adalah cara kita melatih bangsa asing menghargai budaya kita. Setiap kali ada masyarakat Amerika yang mengatakan kalau masakan Indonesia itu enak, hati saya langsung berbunga-bunga. Bukan karena saya yang memasak loh, tapi karena saya merasa nama Indonesia itu akan melekat di hati dan pikiran mereka. Begitu juga kalau ada yang bilang kalau alam Indonesia indah, tarian Indonesia cantik, dan manusia Indonesia ramah-ramah, saya merasa bangga tak terkira. Padahal dulu saya suka sok-sok milih makan burger ketimbang gado-gado. Sekarang, 100% gado-gado di atas burger. Hikmah: Hidup di Amerika, membuat saya makin cinta dan sayang kepada Indonesia.
Wah, kelihatannya kalau saya teruskan tulisan ini, jangan-jangan akan jadi sebuah cerita bersambung (tenang Saudara-Saudari, belum sampai taraf novel kok). Jadi kesimpulannya, apakah hikmah terbesar yang saya dapatkan selama saya hidup di Amerika ? Jawabannya: Saya belajar untuk lebih mengenal diri saya sendiri. Coba kalian tengok ke belakang, apa saja yang sudah berubah dari diri kalian selama ini. Saya yakin, pasti banyak hal yang membahagiakan dan mengharukan yang membuat kalian jadi selangkah lebih maju dari sebelumnya. Saat saya menengok ke belakang, saya banyak tersenyum, tapi juga sedikit kecut, karena ada satu yang belum berubah dari enam tahun lalu sampai sekarang yaitu, saya masih tetap embul..... *Gubrak....*
Selamat Natal dan Tahun Baru 2007. Semoga damai kasih Tuhan akan selalu beserta kita.
Bagaimana Hidup di Amerika Mengubah Diri Saya
Merangkum hidup saya selama di Amerika menjadi satu karangan, rasanya saya bisa menerbitkan satu novel sendiri. Tapi berhubung saya bukanlah penulis novel, dan saya cukup yakin novel saya tidak bakal laku, saya tulis saja sedikit cerita menarik yang mudah-mudahan bisa diambil hikmahnya. Saat saya beres-beres untuk pindahan, saya membuka album foto kenangan. Di album itu, saya masih menyimpan lembaran tiket kedatangan saya kali pertama ke Amerika. Tanggal 10 Januari 2001, hari itu kedua kaki saya menyentuh tanah Madison. Dingin segera menyeruak, apalagi saat itu saya hanya bermodalkan dua lembar pakaian di badan, dan jaket kulit hadiah dari paman saya. Memori saya mundur enam tahun ke belakang, saat saya, si Leony berambut bondol dengan kacamata besarnya, dengan modal bahasa inggris pas-pasan dan ijazah SMU, mencoba menarik sebanyak mungkin ilmu di kota kecil ini. Saya juga masih menyimpan kartu pelajar saya (yang hebatnya tidak pernah hilang sampai sekarang), di mana foto wajah saya saat itu galak dan kesal sekali karena saya tidak kebagian kelas-kelas yang saya mau. Maklumlah, seperti anak Indonesia pada umumnya, saya sudah membayangkan untuk mengambil kelas matematika, fisika, komputer, dan kelas kelas ilmu pasti lainnya. Tapi karena saya masuk di Semester Spring, hampir semua kelas yang saya mau penuh semua. Saya dan teman saya, Mira, mulai memikirkan alternatif yang bisa diambil untuk memenuhi kredit. Jadilah kita mengambil kelas menyanyi, dan kelas ballroom dancing. Saat itu pikiran kita adalah, yang penting nggak rugi! Kan 12-18 kredit bayarnya sama toh?
Tidak disangka, ternyata kelas menyanyi dan kelas dansa itulah yang menjadi kelas-kelas favorit saya, sehingga saya selalu mencoba menyelipkan kelas berbau seni tersebut di dalam setiap semester yang saya jalani. Ditambah lagi, saya mengambil kelas tari Jawa yang seumur-umur tidak pernah terbersit di dalam otak saya, dan juga saya mengambil kelas menggambar. Baru saat itu saya menyadari, betapa pentingnya kelas-kelas seperti itu untuk menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri saya. Percaya atau tidak, saya banyak membaur dengan teman sekelas saya, justru di kelas-kelas tersebut. Kemampuan komunikasi makin terasah, karena kita semua berusaha mengekspresikan diri melalui nyanyian, tarian, dan gambar, bukan hanya dari tulisan dan rumus-rumus. Kesempatan itu, mungkin tidak akan pernah saya dapatkan jika saya berada di Indonesia, di mana ilmu pasti adalah segala-galanya, dan anak anak dipaksa oleh orang tuanya untuk menjadi yang terbaik di bidang tersebut supaya bisa masuk kelas unggulan. Hikmah: Hidup di Amerika, membuat saya lebih bisa berekspresi.
Selama satu setengah tahun tinggal di asrama, hubungan saya dengan dua teman sekamar juga merupakan hal yang sangat menarik. Teman sekamar saya yang pertama, berasal dari keluarga yang rukun. Saat orang tuanya berkunjung, mereka berpelukan hangat, membuat saya jadi ikut rindu dengan keluarga di rumah. Orangnya sangat sederhana, walaupun saya tau kalau dia berasal dari keluarga yang cukup kaya. Berbeda sekali dengan teman sekamar saya di semester selanjutnya. Hobinya belanja dan minum, setiap akhir pekan tidak pernah pulang, sering sekali bergonta-ganti pasangan, dan secara tidak sopan membawa pasangannya itu pulang ke kamar kita, padahal saya besoknya akan ujian. Setiap bicara dengan ayahnya, isinya hanya minta uang. Dan jika tidak diberi, kata-kata kotor segera meluncur dari mulutnya, termasuk kata yang sering disensor. Yang terparah adalah, saat akhir semester, dia ingin saya keluar dan pindah dari kamar kami dengan alasan, temannya ada yang mau masuk. Padahal sayalah orang pertama yang tinggal di kamar itu. Saat itu, saya mulai memupuk keberanian, berusaha untuk putar otak dan melakukan perlawanan. Di Indonesia mungkin saya punya orang tua yang bisa saya jadikan tameng, tapi di sini, saya harus berusaha sendiri. Saya menghubungi housefellow alias ketua di lantai kami, dan saya jelaskan situasinya. Hasilnya? Teman sekamar saya itu dikeluarkan dari asrama. Sisa satu semester selanjutnya, saya jadi penguasa tunggal kamar itu, hehehe. Hikmah: Hidup di Amerika, membuat saya jadi lebih berani dalam mengambil keputusan sendiri.
Saat hidup kita jauh dari keluarga, kehangatan bisa diperoleh dari "keluarga" baru kita di Madison. Bertemu dengan sesama orang Indonesia, membuat kita merasa seperti mempunyai partner dalam berjuang. Kita pasti sering mendengar, bahwa teman-teman sejati adalah teman yang menemani saat suka maupun duka. Kalau saat suka, banyak sekali contohnya. Kalau saat duka ? Saya juga banyak contohnya. Saat saya sedang sakit panas di asrama, ada teman yang membawakan obat dan makanan. Saat ayah saya dipanggil Tuhan, ada teman yang mendoakan dan menghibur saya. Saat menjelang operasi, ada teman yang menunggu saya dari sebelum operasi sampai sadar kembali, dan menemani saya beberapa hari di apartemen. Saat saya sakit cacar air, ada teman yang ke supermarket, membelikan daftar belanjaan saya, dan meletakannya di depan pintu lantaran saya tidak boleh bertemu siapa-siapa. Saat saya putus cinta, ada hotline yang selalu bisa medengar keluh kesah saya. Hikmah: Hidup di Amerika, membuat saya lebih mengerti arti seorang teman.
Berada di salah satu kota dengan populasi Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) per kapita tertinggi di Amerika sempat membuat saya terbelalak. Kok bisa mereka dengan santainya meletakan iklan di mana-mana seandainya mereka ada pertemuan, atau bergandengan mesra di jalanan. Banyak teman-teman sekelas saya yang dengan gamblang mengakui kalau mereka adalah bagian dari kelompok LGBT. Perasaan kurang nyaman pernah juga hinggap di dalam diri saya jikalau saya bertemu dengan mereka, karena di Indonesia orang tidak pernah blak-blakan dalam hal pengakuan. Tapi ternyata, semakin saya mengenal mereka, semakin saya menghormati pilihan mereka. Bahkan beberapa di antara mereka adalah orang-orang dengan sifat terindah yang saya pernah temui. Saya banyak menarik pelajaran dari mereka tentang cara menghadapi hidup, mencoba menjadi kuat di bawah tekanan masyarakat. Hikmah: Hidup di Amerika, membuat saya makin menghargai perbedaan.
Terus terang, saya adalah orang yang sangat malas kalau diajak minum-minum. Padahal minum-minum itu adalah "budaya" orang Wisconsin. Buktinya University of Wisconsin -Madison itu adalah universitas pesta nomor satu dan Milwaukee adalah kota dengan tingkat pemabuk tertinggi se-Amerika. Alasan kemalasan saya adalah karena saya nggak tahan bau rokok, dan saya alergi dengan yang namanya alkohol. Setiap kali ada yang menawari saya minuman, saya selalu menolak dan memilih minum air atau soda. Pernah saat sedang training pekerjaan di Chicago, teman-teman saya tidak ada yang percaya kalau saya sungguh-sungguh alergi. Mereka memaksa saya untuk memesan cocktail ringan yang dicampur dengan jus buah-buahan. Akhirnya saya pesan juga minuman itu demi memenuhi keingintahuan teman-teman, dan akibatnya, baru sepertiga gelas, badan saya gatal-gatal dan bentol-bentol. Teman-teman semua akhirnya percaya, dan sejak saat itu, tidak ada lagi yang menawari saya minuman. Hikmah: Hidup di Amerika, membuat saya sadar, kalau saya SUNGGUH-SUNGGUH deh nggak bisa minum ! Hahahaha... Bercanda deh. Hikmahnya itu, hidup di Amerika membuat saya sadar, kalau saya harus jadi diri sendiri. Tidak boleh ikut-ikut arus.
Saat saya kerja sambilan di kampus, bos saya ada yang bertanya, "Hey Leony, apakah di depan rumah kamu masih suka lewat harimau?" Saya tertawa ngakak. Maklumlah, bagi orang Amerika yang tidak pernah kemana-mana sepanjang hidupnya, Indonesia itu terdengar seperti negara dunia ketiga, di mana semua masih diselimuti hutan, dan tidak ada peradaban. Begitu saya memperlihatkan gambar gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, dia baru sadar, kalau masih ada "dunia lain" di luar Amerika. Salah satu cara untuk saya memperkenalkan Indonesia selain tentunya lewat cerita dan gambar-gambar adalah lewat makanan. Tiga kali saya membantu Permias mencari dana lewat memasak makanan Indonesia. Bagi saya, makanan adalah cara kita melatih bangsa asing menghargai budaya kita. Setiap kali ada masyarakat Amerika yang mengatakan kalau masakan Indonesia itu enak, hati saya langsung berbunga-bunga. Bukan karena saya yang memasak loh, tapi karena saya merasa nama Indonesia itu akan melekat di hati dan pikiran mereka. Begitu juga kalau ada yang bilang kalau alam Indonesia indah, tarian Indonesia cantik, dan manusia Indonesia ramah-ramah, saya merasa bangga tak terkira. Padahal dulu saya suka sok-sok milih makan burger ketimbang gado-gado. Sekarang, 100% gado-gado di atas burger. Hikmah: Hidup di Amerika, membuat saya makin cinta dan sayang kepada Indonesia.
Wah, kelihatannya kalau saya teruskan tulisan ini, jangan-jangan akan jadi sebuah cerita bersambung (tenang Saudara-Saudari, belum sampai taraf novel kok). Jadi kesimpulannya, apakah hikmah terbesar yang saya dapatkan selama saya hidup di Amerika ? Jawabannya: Saya belajar untuk lebih mengenal diri saya sendiri. Coba kalian tengok ke belakang, apa saja yang sudah berubah dari diri kalian selama ini. Saya yakin, pasti banyak hal yang membahagiakan dan mengharukan yang membuat kalian jadi selangkah lebih maju dari sebelumnya. Saat saya menengok ke belakang, saya banyak tersenyum, tapi juga sedikit kecut, karena ada satu yang belum berubah dari enam tahun lalu sampai sekarang yaitu, saya masih tetap embul..... *Gubrak....*
Selamat Natal dan Tahun Baru 2007. Semoga damai kasih Tuhan akan selalu beserta kita.
Akhirnyaaa... jadi juga tulisannya ;) Udah dapat emotional push ya? Hehehe..
ReplyDeleteCeritanya baguuuussss... :)
Terutama soal ambil kelas tari itu. Kalau dipikir, kesel dan sedih ya, memulai hidup baru dgn kelas yg tidak kita inginkan. Tapi ternyata justru disitu tersembunyi anugrah Tuhan yg lain ;)
Kata seorang pemain NBA (yang gw lupa siapa): As hard as it is to admit, a change is good for everyone ;)
Leony,
ReplyDelete1. ternyata kita bernaung di bawah clan yang sama (surname)
2. setelah liat foto mu di situ, rasa2nya g tau lu yang mana waktu kita masih di 'mallory towers' dulu hehe lu cepak ya dulu?
ceritanya bagus, lu jago nulis.. sincere banget nulisnya. bener2 enak dibaca. apa hasil 'reading and writing' and 'jurnalistik'? hehe
tulisan bagus, say...
ReplyDeleteyg jeleknya kapan ditulis? hihihi
kalo aku, jadi bisa masak. jeleknya...jarang shalat
Remembering tiny bits here and there...
ReplyDeleteAnyway, hidup UW Madison! Hehehe... *one of those who are happy being not alergic to liquor :) *
say, dulu aku pernah tinggal di SF 8 bulan kurang lebih. sengsaraaa!! perbedaan kultur en pola hidup disana bikin aku jadi serba males buat ngelakuin rutinitas2 pribadi aku, ya seperti yang mba dian bilang, jadi jarang sholat. baguss postingannya. pelajaran buat sapa yang mau tinggal di luar negeri .. hehehe
ReplyDeletetulisanmu bagus Non, kembangkan bakatnya yach!
ReplyDeletemet Natal dan Tahun Baru 2007